Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus importasi gula untuk periode 2015-2023.
Penetapan tersebut dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengungkap bahwa Thomas memberikan persetujuan untuk mengimpor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP, yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih.
"Sesuai dengan keputusan Mendag dan Menperin nomor 257 Tahun 2004, yang diperbolehkan untuk impor gula kristal putih adalah BUMN," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, di Kejagung pada Selasa malam (29/10/2024).
Pihak Jampidsus mengemukakan bahwa Thomas Lembong ditetapkan sebagai tersangka karena persetujuan impor yang dikeluarkan tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait.
"Tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri," tambahnya.
Penyesalan Thomas Lembong atas Keterlibatannya dalam Pemerintahan
Meski terlibat dalam kasus ini, jauh hari sebelumnya, Thomas Lembong pernah mengungkapkan rasa penyesalan karena pernah menjadi bagian dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pernyataan itu diungkapkannya saat menjadi bagian dari tim pemenangan pasangan calon presiden-calon wakil presiden, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
"Saya punya rasa sesal, nyesal yang lumayan besar karena saya pernah menjadi bagian dari pemerintah," katanya kala itu.
Thomas Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet Jokowi-Jusuf Kalla selama kurang dari setahun, mulai 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016.
Setelah itu, ia menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sejak 27 Juli 2016 hingga 23 Oktober 2019.
Penyebab Penyesalan dan Evaluasi Ekonomi
Penyesalan tersebut diungkapkannya karena strategi yang dijalankan dalam membenahi ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya berhasil, bahkan gagal mengembangkan ekonomi di Tanah Air.
"Di saat-saat kita menjalankan strategi yang menurut data yang saya lihat, rada-rada tidak berhasil. Kalau mau lebih keras lagi, ya banyak gagal," ungkapnya.
Ia menekankan bahwa salah satu bentuk kegagalan Pemerintah Jokowi saat itu adalah ketidakmampuan memperbaiki kondisi kelas menengah di Indonesia.
Thomas Lembong bahkan menyatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, jumlah kelas menengah di Indonesia tidak mengalami perkembangan signifikan.
"Indikator tersebut terlihat dari data penjualan sepeda motor," jelasnya.
Kondisi serupa juga terlihat dari menurunnya pembelian mobil dan barang elektronik dari tahun ke tahun.
Menurutnya, kondisi kesejahteraan kelas menengah terus terhimpit, yang dapat terjadi akibat ketimpangan ekonomi.
Salah satu penyebabnya, menurut Tom Lembong, adalah aliran investasi yang hanya berfokus pada industri padat modal, bukan padat karya di Indonesia.(*)