Komisi III DPR RI angkat bicara soal kasus Tina Rambe, yang merupakan seorang ibu-ibu yang ditangkap, karena berdemo menolak pengoperasian Pabrik Kelapa Sawit (PKS), di Labuhanbatu, Sumatera Utara.
DPR minta aparat penegak hukum bisa menggunakan pendekatan keadilan restoratof atau restorative justice kepada Tina Rambe. Permintaan DPR itu untuk keadilan hukum bagi masyarakat.
"Aparat penegak hukum seharusnya menggunakan pendekatan restorative justice untuk penyelesaian masalah sosial antara masyarakat dengan pihak perusahaan," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh, Senin, (9/9/2024).
Pangeran menyampaikan, mestinya penegak hukum bijaksana dengan memberikan restorative justice pada kasus seperti Tina karena menyangkut kesejahteraan masyarakat.
“Karena pendekatan restorative justice kan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan dialog dan mediasi antara korban, pelaku, dan masyarakat,” bebernya.
Dia menyinggung omongan Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang berpesan agar polisi melakukan pendekatan humanis atau soft approach.
"Dan, gunakan restorative justice untuk kasus pidana yang berkaitan dengan masalah sosial kemasyarakatan seperti perselisihan seperti ini," lanjut Pangeran.
Untuk diketahui, polemik penolakan warga terhadap peroperasionalan pabrik sawit di Labuhanbatu sudah berlangsung lama sejak 2017.
Namun, baru mencuat dan jadi perhatian masyarakat karena baru-baru ini video Tina saat jadi tahanan viral di media sosial.
Di mana awalnya, video Tina saat berbincang dan memeluk anaknya yang masih di bawah lima tahun dari balik jeruji tahanan.
Pangeran mengkritik ketidakpekaan penegak hukum dan mempertanyakan kenapa hanya Tina yang tak mendapat penangguhan penahanan.
“Aparat kan bisa gunakan diskresi. Kan bisa disiapkan ruangan khusus agar yang bersangkutan bisa bertemu anaknya dalam suatu ruangan tanpa ada sekat. Kasihan anaknya harus melihat sang ibu di penjara seperti itu, ini kan soal kemanusiaan,” katanya.
Dia minta aparat bisa menjelaskan alasan hanya Tina Rambe yang tak mendapat penangguhan penahanan.
"Dan, kenapa proses praperadilannya tidak juga diputus-putus ini melanggar kepastian hukum juga,” ujar Pangeran.
Lalu, video viral kedua yang jadi sorotan memperlihatkan Tina yang tak boleh bertemu anaknya saat ia jalani sidang di pengadilan. Kata Pangeran, meski ada aturan terkait hal ini, petugas disebut mesti bisa lebih bijaksana.
“Seharusnya ada rasa empati sedikit untuk seorang ibu yang ingin bertemu putrinya. Masa malah dihalangi begitu," ujarnya.
Pangeran bilang jaksa dan petugas kepolisian juga bisa memberikan keringanan soal waktu dengan penjagaan. "Toh tidak ada yang dirugikan juga kasih waktu tersangka bertemu anaknya,” tuturnya.
Kemudian, Pangeran minta penegak hukum untuk melakukan dialog antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah demi menyelesaikan perselisihan secara damai. Penyelesaian konflik melalui dialog konstruktif bisa menghindari eskalasi. Selain itu, bisa memastikan hak-hak masyarakat dilindungi tanpa harus mengandalkan tindakan hukum yang represif.
"Utamakan restorative justice dalam menyelesaikan suatu kasus yang berkenaan dengan masalah sosial masyarakat. Tentu sekali ini sesuai kualifikasi yang sudah diatur dalam Peraturan mengenai RJ," jelas Pangeran.
Lebih lanjut, dia juga menilai, pendekatan restorative justice selain bersifat humanis, juga mengurangi kesan arogansi penegak hukum. Pangeran mengatakan, kasus perselisihan antara masyarakat dengan perusahaan seringkali terjadi dan seharusnya penegak hukum dapat menjadi mediator.
“Apalagi ini yang disangkakan hanya karena dianggap melawan aparat. Apa pelaku yang hanya beberapa orang ini sampai melakukan tindakan anarkis yang fatal Mereka hanya menuntut keadilan bagi masyarakat kok,” sebutnya