
Repelita Jakarta - Seorang influencer asing yang berkebangsaan Amerika Serikat telah memicu perhatian luas setelah mengunggah sebuah rekaman video yang menampilkan kondisi lanskap hutan Indonesia dari ketinggian.
Rekaman udara yang diambil saat melintas di wilayah Provinsi Riau, Sumatera tersebut secara gamblang menunjukkan kontras yang sangat tajam antara kawasan hijau dengan area yang telah gundul.
Dalam unggahan di akun media sosialnya, influencer tersebut menyertakan narasi yang berisi peringatan keras mengenai dampak buruk dari praktik penggundulan hutan yang masif.
Ia secara spesifik menjadikan Pulau Sumatera sebagai contoh nyata dari sebuah pelajaran penting tentang konsekuensi panjang dari penghancuran hutan.
Menurutnya, aktivitas pembabatan hutan tersebut pada akhirnya hanya akan menghasilkan kerugian bagi pelaku usaha, kerusakan alam yang parah, krisis ekosistem, dan kehancuran yang tak terelakkan.
Video singkat itu dengan cepat menyebar dan menarik respons publik yang sangat besar, sekaligus menghidupkan kembali pembicaraan serius mengenai isu deforestasi di Indonesia.
Isu lingkungan ini mendapatkan momentumnya kembali seiring dengan terjadinya serangkaian bencana alam besar di beberapa wilayah Sumatera dalam beberapa waktu terakhir.
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menimbulkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur yang sangat parah.
Bencana tersebut diyakini banyak pihak memiliki korelasi yang erat dengan kondisi hutan di wilayah hulu yang sudah sangat berkurang tutupan pohonnya.
Analisis melalui citra satelit atau peta digital secara daring dengan mudah dapat menunjukkan banyaknya titik-titik yang menyerupai luka atau bopeng di permukaan bumi Indonesia.
Bopeng-bopeng tersebut pada kenyataannya adalah lokasi-lokasi pertambangan berbagai bahan galian seperti batubara, emas, nikel, dan mineral lain yang tersebar dari Sumatera hingga Halmahera.
Selain pertambangan, lanskap hijau yang terlihat rapi dengan pola garis lurus juga mendominasi pemandangan, yang tidak lain adalah areal perkebunan kelapa sawit monokultur skala besar.
Perizinan untuk operasi pertambangan dan perluasan perkebunan sawit tersebut umumnya dikeluarkan oleh otoritas mulai dari tingkat daerah hingga pemerintah pusat.
Aktivitas ekonomi ekstraktif dalam skala besar itu sering kali dikaitkan dengan kepentingan para pejabat dan pengusaha yang memiliki kemampuan untuk menguasai lahan dalam jumlah sangat luas.
Mereka dianggap dapat mempengaruhi atau bahkan melabrak regulasi yang ada demi keuntungan ekonomi pribadi dan kelompok.
Ironisnya, figur-figur yang terlibat dalam pemberian izin pengusahaan lahan hutan itu kerap tampil sebagai pahlawan di saat terjadinya musibah dengan membawa bantuan dan melakukan kunjungan kerja.
Presiden sebagai pemimpin tertinggi juga pernah menyatakan komitmen untuk menghentikan penebangan pohon besar di hutan, meski sebelumnya pernah menyamakan tanaman sawit dengan pohon hutan.
Pernyataan itu menuai kritik mengingat kompleksitas permasalahan dan kepemilikan lahan pribadi dalam luasan puluhan ribu hektar di wilayah yang rawan bencana.
Tekanan terhadap hutan tidak hanya bersumber dari elite penguasa dan pemilik modal, tetapi juga berasal dari pola konsumsi masyarakat luas dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan akan kendaraan bermotor, alat elektronik, produk kosmetik, dan material bangunan turut mendorong permintaan terhadap hasil tambang dan perkebunan yang mengambil alih fungsi hutan.
Persoalan mendasar kemudian terletak pada kemampuan membedakan antara apa yang benar-benar dibutuhkan dengan sekadar keinginan yang tidak pernah ada batasnya.
Kebutuhan yang sejati memiliki batasan dan membuat manusia tahu kapan harus merasa cukup, sementara keinginan akan terus mendorong eksploitasi tanpa henti.
Selama hasrat untuk terus mengonsumsi tanpa kendali dibiarkan, maka penggalian tambang dan pembukaan lahan akan terus berlanjut dengan mengorbankan masa depan.
Peringatan dari alam telah diberikan berulang kali melalui bencana, yang menandakan bukan hanya kerapuhan hutan tetapi juga ancaman terhadap keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Pilihan yang dihadapi sekarang adalah belajar memahami batas atau terus terseret dalam dahaga yang tidak akan pernah terpuaskan, dengan risiko kehilangan segalanya pada akhirnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

