Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Bagi Prabowo Sawit Itu Anugerah, Tapi Megawati Bilang Arogan

Oleh: Rina Syafri

Pernyataan Megawati dan Prabowo soal sawit kembali membuka perdebatan besar tentang arah pembangunan Indonesia. Pertanyaannya, apakah kita sedang membangun negeri, atau justru merusak fondasinya sendiri?

Megawati: Sawit Tanaman Arogan

Lewat pernyataan Hasto, Megawati menyebut sawit sebagai “tanaman arogan”. Kritik ini tidak muncul dari ruang hampa. Sumatra baru saja menghitung korban akibat banjir dan longsor. Daerah-daerah yang dulunya hijau kini berubah menjadi lahan sawit tanpa rem.

Bagi Megawati, sawit adalah simbol keserakahan pembangunan. Kegilaan pada sawit menyebabkan ekspansi tanpa batas, izin tanpa pengawasan, dan hutan yang lenyap lebih cepat dari kemampuan alam untuk pulih.

Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan rakyat—sebuah pesan yang terasa relevan justru karena bencana sedang terjadi.

Prabowo: Sawit Anugerah Tuhan

Prabowo justru menempatkan sawit sebagai “anugerah Tuhan”. Ia menekankan manfaat ekonomi dan energi. Sawit bisa menjadi bahan bakar berupa biodiesel, dan menjadi komoditas strategis nasional.

Namun ucapan itu dilontarkan di saat publik masih berkabung. Di tengah rumah yang hanyut dan tanah yang longsor, narasi “anugerah” terdengar janggal. Banyak yang menilai ucapan itu kurang peka dan tidak selaras dengan realitas kerusakan ekologis yang sedang berlangsung.

Benturan Dua Kerangka Berpikir

Perbedaan keduanya sangat jelas:

Megawati melihat sawit dari sisi ekologis. Dia menyebut sawit sebagai tanaman arogan yang menantang hukum alam.

Prabowo melihat sawit dari sisi ekonomi. Sawit merupakan komoditas strategis yang mendatangkan berkah.

Inilah dilema pembangunan Indonesia selama puluhan tahun: hutan atau devisa? Alam atau energi? Rakyat atau investasi?

Opini Penulis

Dalam konteks bencana Sumatra, narasi Prabowo mudah terbaca sebagai blunder komunikasi. Bukan soal benar atau salah, tetapi soal sensitivitas pada momentum. Ungkapan “anugerah Tuhan” terasa timpang ketika yang dihadapi rakyat adalah lumpur, banjir, dan jenazah yang ditemukan setiap hari.

Sebaliknya, kritik Megawati mengingatkan bahwa pembangunan yang mengabaikan keseimbangan ekologis pada akhirnya menagih harga yang mahal—dan rakyatlah yang paling dulu membayarnya.

Kesimpulan

Pernyataan kedua tokoh ini bukan sekadar beda gaya bicara, tetapi beda orientasi politik. Megawati menempatkan keselamatan rakyat dan keberlanjutan sebagai poros. Prabowo menempatkan sawit sebagai motor energi dan ekonomi.

Namun dalam situasi bencana besar seperti ini, publik wajar mempertanyakan narasi yang menyebut sawit sebagai “anugerah”. Karena ketika alam sudah memberi peringatan, yang perlu dipertanyakan bukan hanya sawitnya—melainkan pilihan politik yang membuat bencana berulang.[]

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved