
Penulis: Rina Syafri
Ketika bencana melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh, publik bergerak cepat menunjukkan solidaritas. Namun, ada fenomena yang patut dicermati: masyarakat lebih percaya pada ajakan penggalangan dana dari para influencer dibandingkan dari pihak berwenang. Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, melainkan cerminan dari dinamika kepercayaan publik terhadap figur yang dianggap dekat dan autentik.
Pertama, influencer membangun kedekatan emosional dengan pengikutnya. Mereka hadir setiap hari melalui konten, berbagi cerita personal, dan menampilkan sisi manusiawi yang membuat publik merasa mengenal mereka secara langsung. Ketika mereka mengajak berdonasi, ajakan itu terasa tulus dan personal.
Kedua, transparansi menjadi kunci. Influencer biasanya menampilkan bukti penyaluran bantuan secara real-time: update jumlah donasi, dokumentasi di lapangan, hingga laporan distribusi. Publik melihat prosesnya secara terbuka, sehingga rasa aman dan percaya lebih kuat dibandingkan mekanisme birokrasi yang sering dianggap tertutup.
Ketiga, kecepatan dan responsivitas. Influencer dapat segera membuka rekening, mengunggah ajakan, dan menyalurkan bantuan tanpa prosedur panjang. Sementara pihak berwenang sering terjebak dalam birokrasi, sehingga publik merasa bantuan lebih lambat sampai ke korban.
Keempat, narasi humanis. Influencer mengemas pesan dengan bahasa sederhana, penuh empati, dan visual yang menyentuh hati. Publik lebih mudah tergerak oleh narasi personal dibandingkan laporan formal yang kaku.
Kelima, krisis kepercayaan terhadap institusi. Kasus penyalahgunaan dana atau birokrasi berbelit membuat sebagian masyarakat skeptis terhadap pengelolaan dana oleh pihak berwenang. Influencer dianggap lebih independen dan “bersih” dari kepentingan politik maupun administratif.
Fenomena ini membawa dampak sosial yang besar. Di satu sisi, donasi lebih cepat terkumpul dan bantuan segera tersalurkan. Di sisi lain, tetap ada risiko jika influencer tidak memiliki sistem akuntabilitas yang jelas. Karena itu, kolaborasi menjadi penting: influencer sebagai penggerak empati publik, dan pihak berwenang sebagai pengatur distribusi yang legal dan terstruktur.
Pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap influencer mencerminkan pergeseran otoritas moral dari institusi formal ke figur publik yang dianggap autentik. Solidaritas ini harus dijaga dengan transparansi dan kolaborasi, agar semangat gotong royong benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.

