Repelita Jakarta - Pengalaman redenominasi mata uang di berbagai belahan dunia menjadi cerminan berharga bagi Indonesia yang kini sedang mempertimbangkan langkah serupa untuk menyederhanakan nominal rupiah, di mana proses ini melibatkan penghapusan beberapa digit nol agar transaksi harian lebih praktis dan citra ekonomi nasional lebih menarik bagi investor global, meskipun keberhasilan tergantung pada reformasi pendukung yang komprehensif untuk menghindari jebakan inflasi berulang seperti yang dialami beberapa negara lain.
Sebagai ilustrasi, berikut adalah sepuluh contoh negara yang pernah melakukan redenominasi sejak pertengahan abad ke-20, disusun secara kronologis berdasarkan tahun pelaksanaan untuk memudahkan pemahaman pola sukses dan kegagalan, di mana masing-masing kasus menunjukkan bagaimana faktor politik, moneter, dan eksternal memengaruhi hasil akhir transformasi mata uang nasional.
1. Indonesia pada 1965 menerapkan rasio satu banding seribu untuk rupiah baru yang menyatukan varian mata uang pasca-kemerdekaan, status sukses dicapai meskipun menghadapi inflasi tinggi pada masanya tapi tetap relevan hingga kini sebagai fondasi stabilitas keuangan jangka panjang.
2. Argentina di 1992 menggunakan rasio satu banding sepuluh ribu untuk peso baru yang gagal mengendalikan hiperinflasi akibat kebijakan fiskal longgar, sehingga siklus krisis utang berulang hingga sekarang dan menjadi pelajaran tentang ketergantungan pada konversi mata uang asing.
3. Brasil tahun 1994 mengganti cruzeiro dengan real melalui rasio satu banding dua ribu tujuh ratus lima puluh, kegagalan ini terlihat dari kembalinya inflasi yang memaksa redenominasi berulang hingga stabilisasi akhir 1990-an melalui program Plano Real yang lebih radikal.
4. Polandia berhasil pada 1995 dengan złoty baru dari rasio satu banding sepuluh ribu pasca-era komunis, di mana stabilitas ini mendukung integrasi ke Uni Eropa dan meningkatkan kepercayaan pasar tanpa gejolak signifikan di sektor ritel.
5. Ukraina di 1996 memperkenalkan hryvnia menggantikan karbovanets dengan rasio satu banding seratus ribu, sukses ini bertahan meski gejolak geopolitik karena reformasi bertahap yang membangun cadangan devisa dan ketahanan ekonomi regional.
6. Turki mencatat keberhasilan pada 2005 melalui lira baru yang menghapus enam nol dengan rasio satu banding sejuta, reformasi moneter ketat ini meningkatkan kepercayaan investor dan menurunkan inflasi dari ratusan persen menjadi satu digit secara berkelanjutan.
7. Mozambik tahun 2006 menyederhanakan metical lama menjadi versi baru dengan rasio satu banding seribu, sukses didukung bantuan internasional yang mempermudah perdagangan lintas batas dan diversifikasi ekonomi pasca-kolonial.
8. Ghana berhasil pada 2007 dengan cedi baru dari rasio satu banding sepuluh ribu, di mana peningkatan efisiensi transaksi disertai pengendalian inflasi pasca-reformasi yang membuat mata uang ini menjadi alat tukar andal di Afrika Barat.
9. Zimbabwe mengalami kegagalan ekstrem di 2008 melalui redenominasi dolar baru dengan rasio satu banding sepuluh miliar, berulangnya proses ini berujung pada pengabaian mata uang nasional karena hiperinflasi yang mencapai miliaran persen per tahun.
10. Venezuela pada 2018 memperkenalkan bolívar soberano dari rasio satu banding seratus ribu, kegagalan ini berlanjut dengan redenominasi ulang di 2021 akibat hiperinflasi yang tak terkendali dan sanksi eksternal, memaksa transisi ke mata uang asing untuk kebutuhan dasar.
Daftar ini menegaskan bahwa redenominasi yang sukses sering kali disertai komitmen struktural seperti pengurangan defisit anggaran dan liberalisasi pasar, sementara kegagalan umumnya dipicu oleh ketidakstabilan politik atau kurangnya pengawasan moneter, yang menjadi peringatan bagi Indonesia untuk memprioritaskan persiapan matang sebelum melangkah lebih jauh.
Gubernur Bank Indonesia telah menegaskan bahwa wacana penghapusan tiga nol pada rupiah tidak akan tergesa-gesa, dengan target implementasi paling cepat 2027 setelah melalui tahap sosialisasi luas dan penyesuaian sistem perbankan, guna memastikan transisi ini justru memperkuat daya saing ekonomi nasional di tengah dinamika global yang fluktuatif.
Para ekonom domestik menambahkan bahwa meskipun langkah ini bersifat teknis, dampak psikologisnya terhadap perilaku konsumen bisa signifikan, di mana nominal yang lebih sederhana berpotensi mendorong pengeluaran ritel dan investasi produktif jika didukung oleh kampanye edukasi yang efektif di seluruh daerah.
Komisi keuangan parlemen juga siap mereview rancangan undang-undang pendukung, dengan fokus pada mekanisme audit cadangan devisa dan pencegahan spekulasi, sehingga proses ini tidak hanya menyederhanakan angka tapi juga membangun fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga moneter pusat.
Sementara itu, sektor industri seperti perdagangan emas melihat peluang ekspansi ritel pasca-redenominasi, karena harga logam mulia yang terlihat lebih terjangkau secara nominal dapat menarik lebih banyak pembeli individu, meskipun lembaga terkait menekankan perlunya kebijakan pajak yang selaras untuk memaksimalkan manfaat tersebut.
Partai oposisi menyerukan evaluasi mendalam terhadap risiko devaluasi sementara, mengingat pengalaman negara-negara gagal menunjukkan bahwa kurangnya koordinasi bisa memicu penimbunan uang tunai atau ketidakstabilan harga barang pokok di awal transisi.
Diskusi di media sosial semakin mencerminkan keragaman opini masyarakat, seperti akun @elaeis_id pada 12 November 2025 yang menyatakan Isu ini sebenarnya tidak usah di besar-besarkan. Mau rupiah di Redenominasi itu tidak ada ngaruh ke ekonomi nasional. Ciptakan lapangan kerja bagi rakyat, hilangkan koruptor di atas bumi pertiwi ini. Di jamin ekonomi nasional bangkit., yang menggeser fokus ke isu struktural lebih mendesak.
Akun @DeConstantine1 pada tanggal yang sama menambahkan Kali ini saya gak setuju dg si @BenniX krn redenominasi Rupiah akan membuat Rp makin cpt terdevaluasi & BI gakan bs menerbitkan Rp baru & menghapuskan Rp lama dlm waktu singkat, drpd redenom mendingan smua Rp diganti model baru, kl tujuannya agar uang koruptor masuk kedlm sistem, merefleksikan kekhawatiran teknis atas kecepatan eksekusi.
Akun @JimmyRomarten juga berkomentar pada 12 November 2025 bahwa Redenominasi bukan tentang mengurangi nol. Ini tentang mengembalikan makna di balik angka rupiah. Ketika sistem moneter kita lebih sederhana, efisien, dan transparan, maka kredibilitas ekonomi pun meningkat., yang memandang inisiatif ini sebagai momentum reformasi holistik.
Pakar literasi finansial mendorong peningkatan pemahaman masyarakat melalui program sekolah dan komunitas, agar konsep nilai riil versus nominal dapat dipahami secara luas, sehingga menghindari kebingungan yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial selama periode adaptasi.
Pada akhirnya, dengan belajar dari sepuluh kasus global tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadikan redenominasi sebagai katalisator pertumbuhan inklusif, di mana kolaborasi antarlembaga dan transparansi menjadi kunci utama agar manfaat jangka panjang melebihi tantangan sementara yang tak terhindarkan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

