Repelita Jakarta - Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Freddy Ardianzah menyampaikan adanya dugaan tindak pidana fitnah, ujaran kebencian, provokasi, disinformasi, serta penghasutan dari pernyataan CEO Malaka Project Ferry Irwandi. Temuan ini merupakan hasil penelusuran Satuan Siber atau Satsiber TNI melalui media sosial maupun wawancara publik yang dilakukan Ferry.
Freddy menegaskan konten yang diproduksi Ferry dinilai mengandung framing negatif. Menurut dia, materi tersebut menyesatkan, menimbulkan keresahan publik, serta berpotensi mengganggu stabilitas keamanan nasional. Hal ini disampaikan melalui keterangan tertulis pada Kamis, 12 September 2025.
Ia memberikan dua contoh unggahan yang dianggap bermasalah. Pertama, analisis Ferry terhadap video viral penangkapan personel TNI di Palembang. Dalam penjelasannya, Ferry menambahkan frasa “bukan cuma saya..” yang tidak terdapat dalam rekaman asli. Padahal, Puspen TNI sebelumnya sudah memastikan bahwa video tersebut adalah hoaks.
Kedua, pernyataan Ferry terkait isu “darurat militer”. Ferry menyebutkan adanya skenario kerusuhan demo yang diarahkan agar terjadi kondisi darurat militer, termasuk klaim bahwa langkah itu berhasil dicegah. Freddy menilai pernyataan tersebut sebagai provokasi dan fitnah, sebab tidak ada fakta yang mendukung keberadaan rencana darurat militer.
Berdasarkan ketentuan hukum, TNI menilai ucapan Ferry melanggar sejumlah aturan. Antara lain Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap lembaga negara, Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai penyebaran informasi bermuatan kebencian berbasis SARA, serta Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyiaran berita bohong dan kabar tidak pasti yang menimbulkan keonaran.
Selain itu, Ferry juga diduga melanggar Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, Pasal 160 dan 161 KUHP mengenai penghasutan, serta Pasal 45A ayat (2) UU ITE terkait penyebaran kebencian berbasis SARA. Freddy menekankan bahwa perkara ini bukan hanya sekadar pencemaran nama baik institusi, melainkan juga menyangkut penghinaan lembaga negara, penyebaran berita bohong, hingga penghasutan yang mengancam stabilitas nasional.
Pada Senin, 8 September 2025, Komandan Satuan Siber Markas Besar TNI Juinta Omboh Sembiring telah menyambangi Polda Metro Jaya. Kunjungan tersebut dilakukan untuk membicarakan dugaan tindak pidana pencemaran nama institusi TNI oleh Ferry. Temuan dugaan pidana ini sebelumnya disimpulkan dari hasil patroli siber yang dilakukan oleh satuan TNI.
Namun, Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Fian Yunus menyampaikan bahwa TNI tidak dapat melaporkan Ferry atas tuduhan pencemaran nama baik. Ia merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang menyatakan pencemaran nama baik hanya bisa dilaporkan secara pribadi, bukan oleh institusi.
“Menurut putusan MK, institusi kan nggak bisa melaporkan, harus pribadi kalau pencemaran nama baik,” ujar Fian saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, pada Selasa, 9 September 2025.
Langkah TNI ini menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Peneliti Setara, Ikhsan Yosarie, menilai upaya TNI membidik konten Ferry berisiko menciptakan preseden berbahaya. Menurutnya, normalisasi peran militer dalam penegakan hukum siber bisa menggeser fungsi utama TNI, yang semestinya difokuskan pada pertahanan menghadapi ancaman eksternal.
Ferry Irwandi melalui akun Instagram pribadinya juga memberikan tanggapan. Ia menyinggung putusan MK yang menegaskan lembaga negara tidak dapat menuntut warga negaranya. Ferry mengaku tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. “Yang jelas musuhnya bukan kami pak,” tulis Ferry.
Dalam pernyataannya, Ferry menegaskan bahwa TNI dan Polri seharusnya menjadi institusi pelindung masyarakat. Menurut dia, tugas utama keduanya adalah memberikan rasa aman kepada warga, bukan justru memenjarakan mereka.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

