Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

7 Pengakuan Waka BGN soal Keracunan MBG: Masak Malam Disajikan Pagi dan Tangis Nanik Deyang atas 5.914 Korban

Repelita Jakarta - Wakil Kepala Badan Gizi Nasional Nanik S Deyang menangis saat meminta maaf atas gelombang kasus keracunan Program Makan Bergizi Gratis yang menimpa ribuan siswa di berbagai daerah pada Jumat 26 September 2025.  

Nanik mengatakan insiden ini bukan tindakan sabotase melainkan kelalaian internal yang harus diperbaiki segera.  

Ia mengakui ada SOP yang tidak dijalankan dan audit yang tidak menyeluruh sehingga pengawasan program menjadi lemah.  

Nanik menolak anggapan politis terhadap kejadian ini dan meminta fokus dialihkan pada perbaikan manajemen operasional MBG.  

Data BGN tercatat 70 kejadian keracunan dengan total 5.914 orang terdampak sejak Januari tahun ini.  

Lonjakan kasus terbesar terjadi pada Agustus dan September dengan 2.210 korban dari 44 kejadian hanya dalam dua bulan terakhir.  

Pulau Jawa mencatat korban terbanyak sebanyak 3.610 orang disusul Sumatera 1.307 orang dan wilayah Indonesia Timur 997 orang.  

Beberapa daerah terdampak antara lain Bandar Lampung, Lebong, Bandung Barat, Banggai Kepulauan, dan Kulon Progo yang melaporkan ratusan siswa sakit setelah menyantap MBG.  

Nanik memaparkan temuan lapangan yang menunjukkan praktik memasak malam untuk disajikan pagi tanpa pendingin yang memadai.  

Ia menyoroti minimnya pelatihan keamanan pangan bagi petugas dapur sehingga banyak pelanggaran prosedur higienis terjadi.  

Nanik juga menyebut lemahnya pengawasan oleh koordinator wilayah dan tim monitoring pusat yang membuat pelanggaran SOP luput dari pemeriksaan.  

Distribusi yang terlambat dan tidak terjaganya rantai dingin menyebabkan makanan sampai dalam kondisi berubah rasa atau sudah asam.  

Ketiadaan tenaga kesehatan di sekolah membuat guru yang tidak terlatih harus memberi pertolongan pertama kepada korban keracunan.  

Nanik menyoroti faktor sosial di mana warga merasa sungkan melapor karena khawatir dianggap menolak bantuan pemerintah.  

Ia mengingatkan bahwa katering lokal yang dipaksa memenuhi pesanan massal tanpa dukungan logistik memicu turunnya kualitas makanan.  

Nanik menegaskan permintaan maaf BGN dan berjanji memperbaiki manajemen, pelatihan, dan pengawasan agar kejadian serupa tak terulang.  

Perbaikan nyata, transparan, dan berpihak pada keselamatan anak menjadi syarat pemulihan kepercayaan publik terhadap program ini.  

Berikut tujuh pengakuan Waka BGN—temuan lapangan yang bikin merinding—soal keracunan MBG yang telah menimpa ribuan anak di berbagai daerah Indonesia.  

1. Dimasak Malam, Disajikan Pagi.  

Beberapa dapur MBG diketahui memasak lauk pada malam hari sekitar pukul 20.00 untuk disajikan keesokan paginya.  

Tanpa fasilitas pendingin yang memadai makanan berisiko mengalami kerusakan dan kontaminasi sebelum dikonsumsi oleh siswa.  

Praktik ini meningkatkan potensi keracunan karena makanan tidak dijaga dalam suhu aman selama jeda waktu yang panjang.  

2. Petugas Dapur Tak Paham SOP.  

Tenaga dapur lokal yang bertugas dalam program MBG banyak yang belum mendapatkan pelatihan keamanan pangan.  

Mereka hanya mengikuti instruksi teknis tanpa memahami standar penyimpanan dan pengolahan makanan yang aman.  

Akibatnya proses produksi makanan tidak memenuhi protokol higienis yang seharusnya dijalankan.  

3. Pengawasan Internal Tidak Berfungsi.  

Koordinator wilayah dan tim monitoring pusat dari BGN dinilai tidak konsisten dalam melakukan pemeriksaan terhadap dapur MBG.  

Audit yang dilakukan tidak menyeluruh dan pelanggaran terhadap SOP luput dari pantauan.  

Wakil Kepala BGN Nanik S Deyang mengakui bahwa kelalaian bukan hanya terjadi di dapur tetapi juga dalam sistem pengawasan internal lembaganya.  

4. Makanan Terlambat dan Sudah Asam.  

Distribusi makanan dari dapur ke sekolah tidak diawasi secara ketat.  

Beberapa sekolah menerima makanan yang sudah berubah rasa bahkan basi karena tidak adanya rantai dingin selama pengiriman.  

Ada kasus di mana makanan dikirim enam jam setelah dimasak sehingga kualitasnya menurun drastis saat tiba di tangan siswa.  

5. Guru Jadi Penolong Darurat.  

Saat insiden keracunan terjadi guru di sekolah harus menangani siswa yang mengalami gejala seperti muntah dan pingsan.  

Tidak tersedia tenaga medis di lokasi dan para guru tidak dibekali pelatihan penanganan darurat.  

Situasi ini membuat penanganan awal terhadap korban menjadi tidak optimal dan berisiko memperburuk kondisi anak-anak.  

6. Ibu-Ibu Takut Bicara.  

Banyak warga terutama para ibu enggan melaporkan makanan bermasalah karena khawatir dianggap tidak bersyukur atas bantuan pemerintah.  

Rasa sungkan ini menyebabkan kasus-kasus keracunan tidak segera terdeteksi dan ditangani.  

Wakil Kepala BGN menirukan keluhan warga yang menyatakan takut dibilang tidak berterima kasih.  

7. Katering Lokal Kewalahan.  

Penyedia makanan MBG dari kalangan katering kecil dipaksa melayani ribuan porsi tanpa dukungan alat dan logistik yang memadai.  

Tanpa pelatihan dan fasilitas yang sesuai kualitas makanan menurun dan risiko kontaminasi meningkat.  

Salah satu penyedia makanan mengungkapkan bahwa mereka bukan pabrik menandakan keterbatasan kapasitas produksi yang dihadapi.  

Keracunan MBG bukan sekadar angka di laporan tetapi luka di meja makan anak-anak.  

Ketika dapur lalai pengawasan abai dan suara warga tenggelam oleh rasa sungkan maka yang terancam bukan hanya program tapi kepercayaan publik terhadap niat baik negara.  

Jika gizi adalah hak maka keamanan pangan adalah tanggung jawab.  

Dan tanggung jawab tak cukup ditebus dengan permintaan maaf ia harus dibayar dengan perbaikan yang nyata transparan dan berpihak pada anak-anak yang tak pernah memilih untuk sakit.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved