
Repelita Bandung - Aktivis demokrasi Neni Nur Hayati melayangkan somasi terbuka kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat setelah menghadapi serangan digital yang mengancam keselamatan dirinya.
Neni, yang menjabat sebagai Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP), menjadi sasaran ujaran kebencian hingga teror setelah akun Instagram resmi Diskominfo Jabar memajang fotonya tanpa izin.
Aksi unggah foto itu dipicu kritik Neni terhadap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi soal dugaan penggunaan anggaran untuk membayar buzzer.
Neni mengaku serangan yang diterimanya pada 15 hingga 17 Juli 2025 berbeda dari kritik-kritik yang pernah ia lontarkan kepada pejabat publik sebelumnya.
Ia mendapat ancaman penyiksaan, kekerasan berbasis gender secara daring, hingga telepon teror dan peretasan WhatsApp yang membuatnya merasa terancam.
“Ketika serangan itu sudah menyangkut tubuh saya, disertai ancaman penyiksaan dan kekerasan, ini sudah brutal,” kata Neni saat diwawancarai di Bandung.
Ia juga menegaskan selama ini dirinya tak pernah mendapat serangan sebrutal ini, bahkan ketika mengkritik Presiden Prabowo ataupun Presiden sebelumnya.
Serangan ini bermula dari unggahan Dedi Mulyadi di Instagram pribadinya yang menanggapi kritik warganet soal dana buzzer.
Dalam video yang diunggah Dedi, ia menyebut “mbak berkerudung” yang menuduhnya menggunakan APBD untuk membayar buzzer.
Sehari kemudian, akun @diskominfojabar memuat ulang pernyataan Dedi sambil menampilkan foto Neni tanpa seizin yang bersangkutan.
Unggahan tersebut memicu gelombang serangan, mulai dari komentar bernada ancaman hingga perundungan massal.
Lewat kuasa hukumnya Ikhwan Fahrojih, Neni mengirimkan somasi pada 21 Juli 2025, menuntut Gubernur Dedi Mulyadi dan Diskominfo Jabar meminta maaf terbuka melalui media dan menarik unggahan foto.
Unggahan itu kini sudah dihapus, tetapi Neni menilai tindakan Diskominfo Jabar telah membuka celah doxing yang membahayakan keselamatannya.
Forum advokasi keterbukaan informasi, Wakca Balaka, mengecam langkah Diskominfo Jabar yang dinilai menciptakan ruang perundungan warganet terhadap aktivis demokrasi.
Pakar komunikasi publik dari Unpad, FX Ari Agung Prastowo, juga mengingatkan bahwa kritik publik seharusnya menjadi masukan, bukan dilawan dengan tindakan represif.
Menurutnya, kepala daerah semestinya menunjukkan etika komunikasi yang baik, termasuk memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog sehat, bukan sebagai alat untuk membungkam suara kritis.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

