Repelita Bandung - Syafril Sjofyan menyampaikan pandangan kerasnya terkait sosok Jokowi yang menurutnya dapat menjadi ancaman bagi moral generasi mendatang.
Orang yang merasa selalu benar, enggan minta maaf, dan sulit menerima kritik seringkali dicurigai memiliki masalah kepribadian meski tidak selalu berarti gangguan mental klinis.
Syafril menduga Jokowi memiliki Narcissistic Personality Disorder (NPD) yang ditandai beberapa perilaku.
Pertama, merasa diri paling penting sehingga tetap ikut campur ke berbagai urusan pejabat atau aparat.
Kedua, tidak berempati dengan bukti tidak pernah ada ucapan duka atau permintaan maaf atas wafatnya lebih dari 800 petugas KPU pada 2019, korban tragedi Kanjuruhan, hingga 8 santri di KM 50.
Ketiga, meyakini dirinya selalu benar dan sulit mengakui kebohongan, juga tak mau meminta maaf.
Keempat, mendambakan pujian tanpa henti dengan memelihara citra diri, mendanai relawan, dan menempatkan elit relawan di kursi komisaris BUMN agar terus memuja-muja dirinya.
Selain NPD, Syafril juga menilai Jokowi memakai mekanisme pertahanan ego, penyangkalan meski ketahuan berbohong, seperti dalam kasus Kasmudjo yang belakangan membantah sebagai pembimbing skripsi.
Menurutnya, Jokowi kerap menolak fakta yang merusak citra, seperti dugaan ijazah palsu, dan malah menuntut balik orang-orang yang mengungkapkan.
Syafril menyebut perilaku Jokowi sudah lama dan terus berulang, hingga ia tidak pernah minta maaf atas kebohongan atau klaim kontroversialnya.
Sebagai figur publik, Jokowi dinilai masih punya kuasa meski tak lagi presiden, sebab ia punya relasi di pemerintahan, kepolisian, pengadilan, bahkan keluarganya menduduki jabatan strategis.
Inilah yang membuat ‘penyakit Jokowi’ sukar diadili baik secara politik maupun hukum.
Syafril menegaskan pentingnya publik terus membahas, menelaah, dan menuntut agar warisan perilaku seperti ini tak membahayakan moral generasi muda.
Ia menilai masyarakat Indonesia sering mudah memaafkan dan cepat lupa, padahal hal ini bisa membentuk preseden buruk.
Ia juga menyorot DPR yang disebutnya pasif menghadapi berbagai dugaan kebohongan Jokowi, mulai dari klaim dana Rp11 ribu triliun, mobil Esemka, hingga isu ijazah palsu.
Bahkan, DPR digambarkan hanya diam membisu ketika aparat penegak hukum dinilai tak adil menangani laporan ijazah Jokowi.
Syafril menegaskan Jokowi masih memanfaatkan relasi kuasa di Polri atau pengadilan untuk menekan pihak-pihak yang kritis, misalnya lewat kriminalisasi dengan dalih penghinaan, sementara ijazah tetap disembunyikan.
Ia menyebut contoh penanganan kasus Bambang Tri dan Gusnur yang divonis tanpa bukti ijazah ditunjukkan di pengadilan.
Hal serupa, katanya, mengancam Roy Suryo dan tokoh lain.
Syafril memaparkan rangkuman beberapa klaim yang ia anggap bohong, seperti proyek mobil Esemka yang disebutnya hanya janji kosong.
Jokowi juga disebut berbohong soal tidak akan bagi-bagi jabatan, sementara faktanya banyak loyalis mendapat posisi.
Begitu pula klaim dana Rp11 ribu triliun di luar negeri yang tak jelas asal-usulnya.
Ia juga mengingatkan janji tidak cawe-cawe Pilpres 2024 yang nyatanya, menurutnya, dibantah sendiri lewat dukungan pada pencalonan putranya.
Kasus pembimbing skripsi Kasmudjo yang membantah juga dikutip sebagai bukti kebohongan lain.
Syafril menekankan bahwa sikap seorang pemimpin yang enggan minta maaf akan menanamkan budaya kebohongan pada generasi mendatang.
Ia mengajak masyarakat tetap kritis, menuntut pertanggungjawaban politik dan hukum, serta mendukung aktivis dan peneliti yang berani seperti Dr. Rismon, Dr. Roy Suryo, Tifa, dan Rizal Fadillah.
Baginya, Jokowi harus diadili sebagai tersangka pemalsuan dan penipu publik.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

