Repelita Bangkok - Mahkamah Konstitusi Thailand resmi menangguhkan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya per 1 Juli 2025.
Penangguhan ini terjadi seiring dibukanya penyelidikan dugaan pelanggaran etika dalam sengketa diplomatik antara Thailand dan Kamboja.
Keputusan tersebut diambil dengan suara mayoritas 7 banding 2 oleh para hakim Mahkamah Konstitusi.
Paetongtarn yang baru menjabat kurang dari satu tahun dinilai melanggar integritas jabatan setelah menyebut mantan pemimpin Kamboja Hun Sen sebagai “paman” dan seorang jenderal Thailand sebagai “lawan” dalam percakapan yang bocor ke publik.
Ucapan itu memicu gelombang kritik dari kelompok konservatif dan militer yang menilai Paetongtarn telah melemahkan kedaulatan nasional.
Pernyataan tersebut juga menyebabkan partai pengusungnya, Pheu Thai, kehilangan dukungan dari koalisi konservatif dan memicu aksi unjuk rasa di Bangkok.
Sementara itu, pada hari yang sama, ayah Paetongtarn sekaligus mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra menghadapi sidang kasus lese majeste terkait wawancaranya dengan media asing pada 2015.
Thaksin terancam hukuman hingga 15 tahun penjara jika terbukti bersalah dalam kasus penghinaan terhadap monarki.
Pengamat politik Thitinan Pongsudhirak menilai dua kasus yang menimpa keluarga Shinawatra tersebut tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang tengah berlangsung.
Meski tengah diselidiki, Paetongtarn sempat mengajukan perombakan kabinet dan mengangkat dirinya sebagai Menteri Kebudayaan, namun belum jelas apakah ia bisa menjalankan jabatan itu selama masa skorsing.
Dalam pernyataannya, Paetongtarn mengaku menerima keputusan Mahkamah Konstitusi dan menegaskan komitmennya untuk terus bekerja demi kepentingan bangsa.
“Saya ingin menegaskan kembali bahwa saya selalu berniat melakukan yang terbaik bagi negara saya,” ucapnya di Gedung Pemerintah. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok.

