
Repelita Riau - Pacu jalur, tradisi mendayung warisan leluhur dari Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, kini menjadi perhatian luas setelah viralnya video seorang bocah menari di atas perahu dan memunculkan tren 'Aura Farming'.
Tradisi ini tidak sekadar perlombaan, tetapi menyimpan nilai sejarah dan filosofi mendalam yang telah diwariskan sejak abad ke-17.
Pacu jalur berasal dari kata 'jalur' yang merujuk pada perahu dari kayu utuh tanpa sambungan. Dahulu, perahu ini digunakan sebagai sarana transportasi masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan.
Seiring waktu, jalur yang dulunya sederhana mulai dikembangkan untuk keperluan lomba.
Lomba pacu jalur awalnya digelar dalam rangka menyambut hari keagamaan seperti Idulfitri.
Namun di masa kolonial, pacu jalur dijadikan perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina.
Saat ini, Festival Pacu Jalur menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan di Tepian Narosa, Teluk Kuantan, dan menjadi magnet wisata budaya.
Pembuatan perahu jalur memerlukan ritual khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap alam.
Proses ini menunjukkan betapa tingginya nilai spiritual masyarakat terhadap hutan dan alam sekitarnya.
Setelah rampung, perahu jalur dapat menampung 50 hingga 60 pendayung yang disebut anak pacu.
Masing-masing anak pacu memiliki peran.
Ada Tukang Concang sebagai pemberi aba-aba, Tukang Pinggang sebagai juru kemudi, Tukang Onjai yang memberikan ritme, serta Anak Coki yang menari di ujung perahu.
Anak Coki biasanya anak-anak karena tubuh mereka lebih ringan sehingga tidak memperlambat laju perahu.
Gerakan tarian mereka pun sarat makna, mulai dari ekspresi kemenangan hingga sujud syukur saat mencapai garis akhir.
Viralnya tradisi ini di media sosial membuat netizen dari negara lain seperti Malaysia, Vietnam, hingga Filipina ikut menyorot dan bahkan mengklaim kemiripan dengan budaya mereka.
Hal ini membuat publik Indonesia semakin terpacu untuk menjaga dan melestarikan pacu jalur sebagai kekayaan budaya yang otentik.
Festival ini kini menjadi lebih dari sekadar lomba.
Ia telah menjelma sebagai simbol kebanggaan, semangat gotong royong, dan penghormatan terhadap tradisi.
Sudah menjadi tugas seluruh anak bangsa untuk merawat dan mempertahankan jati diri budaya ini agar tidak punah atau diklaim bangsa lain. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

