Repelita Jakarta - Ahli forensik digital Rismon Sianipar mengungkapkan kekecewaannya setelah Bareskrim Polri memutuskan untuk menghentikan laporan Tim Pembela Ulama dan Aktivis terkait dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Rismon menyebut keputusan tersebut tidak memuaskan karena bukti-bukti yang diajukan pihaknya dianggap hanya bersifat sekunder sehingga tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti primer dalam penyidikan.
Menurutnya, ketiadaan dokumen fisik seperti ijazah atau skripsi Jokowi bukan alasan untuk menghentikan pembuktian.
Ia menegaskan bahwa metode digital forensik seharusnya tetap diakui sebagai instrumen penting untuk memeriksa keaslian dokumen, bahkan tanpa harus memegang fisik aslinya.
Rismon kemudian mencontohkan dua kasus terkenal di dunia, yaitu Hitler's Diaries dan Killian Documents, yang berhasil diungkap pemalsuannya melalui analisis digital forensik.
Ia mengingatkan bahwa Hitler's Diaries, jurnal yang pernah diklaim milik Adolf Hitler pada 1983, terbukti palsu dengan teknik pencitraan spektral dan uji kandungan tinta modern.
Sementara Killian Documents, yang sempat mengguncang Amerika Serikat karena berisi catatan dinas militer George W. Bush, juga terbongkar palsu berkat analisis tipografi digital yang mendeteksi penggunaan font modern yang tidak sesuai era pengetikan dokumen.
Atas dasar itu, Rismon menilai aparat penegak hukum di Indonesia perlu belajar dari cara para ahli internasional mengungkap dokumen palsu lewat teknologi forensik digital.
Menurutnya, metode tersebut dapat diterapkan untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan dokumen tanpa bergantung hanya pada keberadaan fisik asli.
Ia berharap ke depan kepolisian mau membuka diri dengan pendekatan ilmiah dan teknologi mutakhir agar penegakan hukum tidak terkesan tertinggal.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok
