
Repelita Jakarta - Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta, secara resmi mengirimkan surat kepada Menteri Perdagangan, Budi Santoso, sebagai bentuk protes atas pembatalan sepihak Bea Masuk Anti Dumping yang dinilai merugikan industri dalam negeri.
Surat tersebut dikirim akhir pekan lalu sebagai permintaan audiensi, dengan harapan dapat membuka ruang dialog sebelum polemik kebijakan ini menimbulkan kegaduhan lebih luas.
Redma menyampaikan bahwa pelaku industri benang filament siap memberikan masukan agar tercapai solusi yang adil dan tidak merugikan pihak manapun.
Menurutnya, pembatalan Bea Masuk Anti Dumping atas rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia, khususnya terhadap benang filament jenis POY dan DTY asal Tiongkok, bertentangan dengan amanat Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014.
Ia menekankan bahwa pasal 70 ayat 1 UU tersebut secara jelas mengatur kewajiban pemerintah untuk melindungi industri nasional dari kerugian akibat praktik dumping.
“Kami sangat menghormati keputusan Bapak Menteri sebagai pemegang kebijakan, namun kami mohon izin untuk menyampaikan beberapa poin terkait hal ini serta implikasi lanjutannya,” tulis Redma dalam suratnya.
Ia mengingatkan bahwa prinsip perlindungan terhadap pelaku usaha dalam negeri harus dijaga, terutama saat industri lokal memiliki kemampuan produksi yang cukup besar.
Redma menjelaskan bahwa kapasitas nasional untuk benang POY mencapai 430.000 ton per tahun, dengan 130.000 ton dialokasikan ke pasar domestik. Namun pada tahun 2024, impor POY tetap masuk sebesar 125.000 ton.
Untuk benang DTY, kapasitas produksi nasional tercatat sebesar 400.000 ton per tahun, dengan 270.000 ton yang tersedia bagi pasar dalam negeri. Sementara itu, impor DTY masih mencapai 120.000 ton pada periode yang sama.
“Secara kapasitas, industri nasional sangat mampu memenuhi kebutuhan domestik dan menggantikan peran impor,” ujar Redma.
Ia menambahkan bahwa suplai yang masuk ke pasar benar-benar berasal dari kapasitas sisa setelah kebutuhan internal dipenuhi.
Redma juga membantah argumen mengenai keberadaan kawasan berikat sebagai alasan pembatalan kebijakan.
Ia menegaskan bahwa hanya dua perusahaan anggota APSyFI yang berada di kawasan berikat, dan keduanya saat ini tengah dibekukan oleh Bea dan Cukai.
Terkait keberadaan BMAD, Redma menjelaskan bahwa penerapannya tidak otomatis melarang impor.
Menurutnya, importir tetap dapat membeli produk dari Tiongkok dengan membayar bea masuk sesuai ketentuan, atau mengalihkan impor dari negara ASEAN dan anggota RCEP yang memberlakukan tarif 0 persen.
Redma juga menyoroti bahwa sektor hilir industri tekstil justru telah mendapat perlindungan melalui kebijakan safeguard kain sejak 2021 berdasarkan PMK No. 48 Tahun 2024.
Karena itu, kekhawatiran terkait efek pembatasan impor benang filament terhadap sektor hilir dinilai tidak berdasar.
Ia turut menegaskan bahwa produk Polyester Staple Fiber (PSF), yang saat ini dikenakan BMAD, berbeda secara teknis maupun fungsional dari benang POY dan DTY.
“PSF adalah bahan baku untuk benang pintal, bukan untuk benang filament. Penggunanya pun berasal dari segmen industri yang berbeda,” pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

