Repelita Jakarta - Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat dan memicu perdebatan luas di tengah masyarakat.
Analis komunikasi politik Hendri Satrio menilai, setidaknya terdapat tiga jalur yang memungkinkan Gibran lengser dari jabatannya.
Pertama, Gibran dapat memilih untuk mengundurkan diri secara sukarela.
Kedua, melalui proses konstitusional yang panjang dan menunggu momen yang dinilai tepat oleh kekuatan politik di parlemen.
Ketiga, kemungkinan yang dinilai kontroversial, yakni Mahkamah Konstitusi membuka jalan bagi presiden untuk mengganti wakil presidennya di tengah masa jabatan.
Hensa menyebut, jalur ketiga bisa terjadi jika ada permohonan hukum yang mengarah pada situasi darurat negara dan Mahkamah Konstitusi memutuskan presiden memiliki kewenangan untuk mengambil langkah tersebut.
Ia mengaitkan skenario ini dengan pengalaman sebelumnya saat Gibran bisa maju sebagai cawapres melalui putusan MK yang juga sarat kontroversi.
Hensa menduga DPR menahan surat pemakzulan yang dilayangkan Forum Purnawirawan TNI bukan karena tidak serius, tetapi sebagai bentuk alat tawar terhadap Gibran.
Menurutnya, dokumen itu bisa saja dibacakan jika Gibran dianggap tidak lagi menguntungkan secara politik atau enggan mengikuti garis kebijakan presiden.
Di sisi lain, Hensa mengungkapkan bahwa partai-partai di parlemen kemungkinan sedang mempertimbangkan sosok pengganti sebelum memutuskan untuk memproses surat tersebut.
Ia menilai pembahasan pengganti Gibran akan menjadi kunci apakah surat itu dibacakan atau tetap disimpan sebagai tekanan politik.
Sebelumnya, Forum Purnawirawan TNI mengancam akan menduduki Gedung MPR jika DPR dan MPR tidak segera menindaklanjuti surat pemakzulan terhadap Gibran.
Pernyataan tegas itu dilontarkan oleh Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto dalam sebuah konferensi pers di Jakarta.
Slamet menyebut keberadaan Gibran di posisi wapres sebagai kondisi genting bagi masa depan bangsa, dan menyerukan mobilisasi kekuatan untuk menyelamatkan negara.
Di tengah situasi itu, tekanan politik makin menguat dengan munculnya somasi dari kelompok advokat yang tergabung dalam Perekat Nusantara dan TPDI.
Mereka menilai kehadiran Gibran sebagai wapres mencoreng demokrasi dan menuntut agar ia segera mundur.
Somasi tersebut diberikan waktu 7 hari dan jika tidak diindahkan, mereka akan membawa aspirasi tersebut ke MPR untuk mendiskualifikasi Gibran tanpa mekanisme pemakzulan.
Mereka menganggap putusan MK yang meloloskan Gibran telah cacat hukum, mengingat adanya pelanggaran kode etik oleh hakim MK yang memutus perkara tersebut.
Selain itu, para advokat juga menyoroti keabsahan regulasi terkait usia minimum calon wapres, serta viralnya akun anonim yang diduga berkaitan dengan Gibran namun tidak pernah diklarifikasi.
Seluruh rangkaian itu dianggap telah menciptakan krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara dan memperkuat alasan untuk mendorong Gibran keluar dari kursi kekuasaan.
Desakan demi desakan yang muncul dari berbagai kalangan memperlihatkan bahwa legitimasi politik Gibran terus digerus oleh persoalan hukum dan etika yang belum terselesaikan secara tuntas. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok