Repelita Jakarta - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa saat kerusuhan 1998 memicu kritik tajam dari kalangan sejarawan.
Sejarawan Andi Achdian menilai pernyataan itu menunjukkan minimnya kepekaan etis dalam memahami sejarah kekerasan yang menyisakan luka mendalam.
Ia menjadi salah satu pihak yang secara tegas menolak gagasan penulisan ulang sejarah nasional yang sedang dirancang oleh kementerian.
"Kenapa saya menolak? Karena sejak awal yang disebut sejarah nasional itu penuh dengan kekerasan epistemik.
Ia menyingkirkan orang dan memonopoli tafsir sejarah," ujar Andi dalam konferensi pers daring yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, Selasa 17 Juni 2025.
Andi mengingatkan bahwa sejarah resmi kerap dijadikan alat untuk memutihkan masa lalu.
Menurutnya, praktik semacam ini juga dilakukan di berbagai negara lain.
Ia mencontohkan Jepang yang menghapus sejarah Jugun Ianfu dari kesadaran publik.
Andi mengkritik pendekatan teknis dalam menyusun sejarah nasional yang saat ini dinilai terlalu terburu-buru.
Penulisan sejarah, kata dia, seharusnya dibangun di atas kesepakatan moral dan etis, bukan sekadar urusan teknis.
Ia juga menyayangkan mengapa hasil penelitian terbaru tidak diterbitkan secara utuh, melainkan dikompilasi secara parsial yang rawan disalahartikan.
"Sejarah nasional berbeda dari sejarah akademik.
Yang disebut sejarah nasional membutuhkan kesepakatan moral dan etis yang luas," ujarnya.
"Itu yang tidak ada dalam rencana kementerian ini.
Kalau hanya teknis, kita jadi bertanya-tanya motifnya apa," imbuhnya.
Andi menegaskan bahwa sejarah yang baik harus menyentuh aspek paling menyakitkan sekalipun, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ia menyebut bahwa upaya menghapus pengalaman traumatik dari catatan sejarah sama saja dengan membunuh kembali para korban.
"Kalau peristiwa pemerkosaan massal 1998 hanya disebut sebagai ekses dari kerusuhan, itu sangat berbahaya.
Itu artinya kita membunuh dua kali para korban," katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa perempuan selalu menjadi target dalam setiap krisis politik, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia.
"Di '65, di Aceh, di '98.
Tubuh perempuan selalu jadi sasaran.
Ini juga terjadi dalam sejarah global," ujarnya.
Andi menilai penyusunan sejarah nasional kerap mengabaikan dimensi tersebut.
Padahal, menurutnya, hal itu adalah titik paling kritis dalam menilai kemanusiaan sebuah narasi sejarah.
Ia juga mempertanyakan apakah pernyataan Fadli Zon mencerminkan pandangan pribadi atau posisi resmi pemerintah.
"Yang sibuk justru menterinya.
Sejarawannya malah tidak terlihat.
Apakah ini suara pribadi atau kebijakan negara?" ujarnya.
Jika itu pandangan pribadi, maka menurut Andi, sang menteri telah melampaui batas kapasitasnya.
Sebaliknya, jika ini cerminan sikap pemerintah, maka masih ada masalah mendalam dalam cara negara melihat kekerasan masa lalu.
Andi menyebut bahwa sejarah seharusnya menjadi bekal generasi muda untuk memahami sumber dari krisis dan konflik.
Bukan disembunyikan demi alasan stabilitas politik.
"Kalau mereka tahu sejarahnya, mereka tidak akan bingung saat menghadapi krisis.
Itu bukan lagi misteri," ujarnya.
"Pengetahuan sejarah itu seharusnya membuat mereka lebih kuat sebagai warga negara," tambahnya.
Andi menyatakan bahwa dirinya secara tegas menolak rencana penulisan ulang sejarah nasional versi pemerintah.
"Kalau ditanya sikap saya soal proyek ini, ya saya tolak saja," tegasnya.
Kritik terhadap Fadli Zon juga datang dari aktivis perempuan Ita Fatia Nadia.
Ita adalah pendamping para korban pemerkosaan massal etnis Tionghoa pada 1998.
Pada Jumat 13 Juni 2025, Ita bersama sejumlah tokoh HAM seperti Kamala Chandra Kirana, Usman Hamid, dan Sulistyowati Irianto menggelar konferensi pers bersama.
Dalam pernyataan mereka, para aktivis menyesalkan pernyataan Fadli Zon yang meragukan adanya kekerasan seksual sistematis dalam tragedi 1998.
Namun setelah mengemukakan kritik tersebut, Ita Fatia dilaporkan menerima teror dari orang tak dikenal.
Belum ada keterangan resmi yang disampaikan pihak terkait soal insiden ini. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

