Repelita Jakarta - Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, kembali menyorot kebijakan fiskal di era pemerintahan Jokowi yang ia sebut sebagai rezim makelar utang.
Ia menyebut lonjakan utang negara selama satu dekade terakhir telah membebani APBN secara signifikan.
"Utang naik sekitar tiga kali lipat. Bunga utang lebih tinggi tiga kali dari sebelumnya, dan dua sampai tiga kali lipat dari bunga tabungan," ujar Said Didu dalam pernyataannya di X pada 24 Juni 2025.
Ia mengungkapkan bahwa porsi pembayaran utang, termasuk bunga dan pokok, kini menyedot sekitar 35 sampai 40 persen dari keseluruhan APBN.
Situasi ini, menurutnya, menunjukkan arah kebijakan fiskal yang sangat berisiko dan mengorbankan belanja strategis untuk kepentingan rakyat.
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menambah kritik dengan menuding ada fabrikasi dalam data pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia menyebut angka pertumbuhan yang stagnan di kisaran 5 persen selama bertahun-tahun sebagai sinyal manipulasi.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang periode pertama Jokowi tidak mampu bangkit. Stabil di sekitar 5 persen saja," ungkap Anthony.
Ia menilai data seperti 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), hingga 5,02 persen (2019) sangat tidak lazim dan mencurigakan.
“Diduga ada fabrikasi alias manipulasi terhadap angka pertumbuhan ekonomi tersebut,” tegasnya.
Anthony menjelaskan bahwa manipulasi bisa dilakukan lewat pengaturan angka deflator dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurutnya, hal itu cukup untuk menciptakan kesan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan positif.
Ia mencontohkan beberapa negara lain yang pernah diduga melakukan praktik serupa, seperti China, India, dan Argentina.
Dalam kasus India, Anthony mengutip mantan penasihat ekonomi Arvind Subramanian yang menyebut pertumbuhan ekonomi negeri itu terlalu tinggi 2,5 persen dari kenyataan.
Ia pun menduga hal serupa terjadi di Indonesia.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini terlalu tinggi sekitar 2 persen. Jadi sebenarnya hanya sekitar 3 persen, bahkan bisa jadi cuma 2,5 persen,” pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok