
Repelita Surakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta menolak permohonan intervensi yang diajukan oleh rekan satu angkatan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, dalam perkara dugaan ijazah palsu yang melibatkan nama Jokowi.
Putusan tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim, Putu Gde Hariadi, dalam persidangan yang digelar Kamis (12/6/2025).
"Menolak permohonan intervensi yang diajukan oleh pemohon intervensi," ujar Putu saat membacakan amar putusan.
Ia juga menyatakan bahwa perkara pokok akan tetap dilanjutkan ke tahap pemeriksaan oleh semua pihak terkait.
"Memerintahkan penggugat, tergugat I sampai tergugat IV untuk melanjutkan pemeriksaan perkara a quo," tegasnya.
Kuasa hukum pemohon, Wahyu Teo, menyampaikan bahwa hakim menilai kliennya tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk ikut dalam perkara tersebut.
Menurutnya, perbedaan nama dan nomor ijazah antara pihaknya dan Jokowi membuat permohonan intervensi dianggap tidak relevan.
"Ijazah klien kami adalah produk hukum sendiri," ujarnya.
Meskipun berasal dari sekolah yang sama, SMAN 6 Surakarta, hanya ijazah milik Jokowi yang dipermasalahkan dalam perkara ini.
"Ijazah Pak Jokowi menjadi objek sengketa yang tidak bisa disamakan dengan yang kami ajukan," kata Wahyu.
Ia menyebutkan masih akan berdiskusi dengan penggugat untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.
"Nanti kami akan berunding dulu apakah akan banding atau kasasi, itu masih wacana," jelasnya.
Sementara itu, kuasa hukum Jokowi, YB Irpan, menyatakan tidak keberatan atas penolakan tersebut.
Ia menganggap keputusan hakim tidak mengganggu jalannya sidang pokok perkara.
“Sikap kami seperti yang telah kami sampaikan, bisa menerima," katanya.
Menurut Irpan, pihak yang mengajukan intervensi tetap bisa hadir sebagai saksi jika ingin mendukung posisi tergugat.
“Kalau ingin memperkuat keberadaan SMAN 6 dalam perkara ini, dia bisa hadir sebagai saksi,” ucapnya.
Sebelumnya diketahui, rekan satu angkatan Jokowi di SMAN 6 Surakarta angkatan 1980 mengajukan intervensi sebagai bentuk kepedulian terhadap almamater.
Wahyu Teo mengatakan bahwa alumni merasa perlu melindungi nama baik sekolah dari dugaan pemalsuan ijazah.
"Sebagai alumni SMA Negeri 6 Surakarta, kami memiliki rasa cinta dan tanggung jawab terhadap nama baik sekolah," ungkapnya dalam persidangan 2 Juni 2025.
Dalam keterangannya, Wahyu menegaskan bahwa mereka ikut sebagai tergugat untuk membela nama institusi.
"Pemohon intervensi secara sukarela bergabung dalam tergugat," ujarnya.
Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini, Putu Gde Hariadi, saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua PN Surakarta Kelas I A Khusus.
Ia lahir di Bangli, Bali, pada 4 Juli 1970.
Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Ketua PN Mataram selama hampir dua tahun, hingga Oktober 2024.
Saat menjabat di Mataram, Putu memimpin sejumlah perkara besar, termasuk kasus korupsi yang melibatkan mantan Wali Kota Bima, M. Lutfi.
Dalam kasus tersebut, Putu menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara karena Lutfi terbukti mengatur proyek-proyek pemerintah daerah selama 2019 hingga 2023.
Ia juga dikenal sebagai hakim yang mendorong tata kelola birokrasi bersih di lembaganya.
Atas kinerjanya, ia pernah mendapat apresiasi dari mantan Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin.
Berdasarkan laporan kekayaan terbarunya, Putu memiliki harta senilai Rp 2,5 miliar setelah dikurangi utang sebesar Rp 1 miliar.
Kekayaannya meliputi properti di Malang, Madiun, Denpasar, dan Gianyar senilai total Rp 2,3 miliar.
Selain itu, ia tercatat memiliki berbagai kendaraan termasuk Pajero, HR-V, Brio, serta beberapa sepeda motor.
Nilai alat transportasi dan mesin yang ia miliki mencapai lebih dari Rp 1 miliar.
Ia juga menyimpan uang tunai dan setara kas senilai Rp 104 juta.
Dengan total kekayaan Rp 3,59 miliar dan utang Rp 1,04 miliar, kekayaan bersih Putu Gde Hariadi tercatat sebesar Rp 2,54 miliar. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

