Repelita Jakarta - Kerusuhan Mei 1998 tidak hanya meninggalkan luka fisik dan kerugian material.
Peristiwa tersebut juga menyisakan trauma mendalam bagi perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Banyak di antara mereka berasal dari etnis Tionghoa.
Salah satu saksi yang memberikan pendampingan kepada para korban adalah seorang ibu rumah tangga bernama Fani Gunadi.
Fani, yang menggunakan nama samaran, menyaksikan sendiri peristiwa pelecehan terhadap seorang perempuan oleh lima pria di tengah kerusuhan.
Pada 16 Mei 1998, ia bertemu seorang gadis muda bernama Mona Johan di instalasi gawat darurat Rumah Sakit Graha Medika.
Saat itu, Mona terlihat sangat ketakutan.
Tubuhnya dibalut seprai bermotif bunga.
Mona enggan berbicara dan terus mengurung diri dalam diam.
Orang tua Mona kebingungan karena kehilangan harta benda dan tak tahu harus pulang ke mana.
Fani kemudian mengajak keluarga tersebut tinggal di rumahnya di Serpong.
Selama sembilan hari, Mona dan keluarganya berada di sana.
Setelah itu, Fani membantu mereka untuk pindah ke Australia.
Beberapa bulan kemudian, Fani mengunjungi keluarga tersebut.
Ia menyaksikan Mona masih mengenakan seprai yang sama.
Ia bahkan menyembunyikan makanan di dalam kerudung saat makan.
Cara bicaranya pun tertahan, mulutnya tak pernah terbuka.
Saat Fani berkunjung lagi pada Agustus 1998, Mona akhirnya bercerita.
Dengan suara datar dan dingin, Mona mengungkap bahwa lima pria masuk ke rumahnya pada malam kerusuhan.
Mereka bergantian memperkosanya.
Seprai yang ia kenakan saat itu adalah kain yang sama digunakan saat peristiwa tersebut.
Mona menggunakan seprai itu untuk menggulung tubuhnya, berusaha melindungi diri.
Namun usahanya gagal.
Tahun 2003, kesaksian baru kembali muncul.
Seorang perempuan bernama Mei Ling ditemukan di rumah perawatan di Jakarta Utara.
Mei Ling, yang juga menggunakan nama samaran, menjadi korban pemerkosaan pada 14 Mei 1998.
Ia ditolong seorang ibu di Sunter dalam keadaan luka dan syok berat.
Wajahnya tak menampakkan nyeri meski ia mengeluh sakit di bagian perut.
Dokter yang menanganinya menduga memar di tubuh Mei Ling berasal dari kekerasan seksual yang dialaminya.
Ia lalu dirawat di Rumah Sakit Carolus, bagian kejiwaan.
Satu lagi korban bersaksi dari luar negeri.
Seorang perempuan Tionghoa bernama Dini menceritakan kejadian melalui sambungan telepon dan email.
Dini tinggal di Amerika Serikat.
Ia mengatakan diperkosa oleh tiga pria tegap berambut cepak pada 15 Mei 1998.
Dini tengah menunggu bus di kawasan Jenderal Sudirman ketika dipaksa masuk ke dalam taksi oleh seorang pria bersenjata tajam.
Taksi itu berhenti di bawah jembatan Semanggi.
Dua pria lain masuk ke dalam dan mengapitnya di jok belakang.
Selama perjalanan ke arah Bekasi, Dini mengalami pelecehan.
Mereka mengaku telah memperkosa banyak perempuan di Glodok dan Tangerang.
Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal 1998 hanya rumor, memicu kemarahan publik.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menilai pernyataan tersebut keliru dan tidak berdasar.
Menurut Komnas HAM, kerusuhan 13–15 Mei 1998 merupakan Pelanggaran HAM Berat.
Termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.
Peristiwa tersebut mencakup pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, serta pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menjadi dasar hukum atas pelanggaran tersebut.
Komnas HAM juga menegaskan bahwa kasus-kasus ini tidak boleh dilupakan.
Kebenaran harus diungkap.
Keadilan untuk para korban tetap harus ditegakkan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

