Repelita Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan keberadaan bukti pemerkosaan dalam tragedi Mei 1998.
Ia menyebut pernyataan itu tidak pantas dan bisa menghapus catatan sejarah kekerasan seksual yang telah lama diakui.
Menurutnya, kasus pemerkosaan dalam kerusuhan 1998 adalah tragedi kemanusiaan yang nyata.
Jadi saya kira siapa pun yang menyebut tidak ada tragedi pemerkosaan tentu sangat tidak pantas dan berpotensi menghapus jejak sejarah kekerasan seksual yang telah diakui secara luas, baik oleh Komnas Perempuan maupun berbagai lembaga independen nasional dan internasional, ujar Nihayatul, Selasa 17 Juni 2025.
Ia meminta agar Fadli Zon tidak asal bicara.
Menurutnya, pernyataan semacam itu seharusnya didahului oleh kajian serius dan mendalam.
Fadli Zon disarankan menemui langsung penyintas atau setidaknya menugaskan tim ahli untuk mengumpulkan data lapangan.
Seharusnya kaji dulu dengan benar, temui keluarga korban, masih banyak itu yang hidup.
Paling tidak kalau malas mengkaji sendiri ya suruh tim penelitinya yang turun, jangan asal berkomentar nggak ada pemerkosaan (saat 1998), kata politisi PKB itu.
Nihayatul menegaskan bahwa Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk setelah reformasi 1998 telah menemukan bukti pemerkosaan terhadap perempuan, khususnya dari etnis Tionghoa.
Ia menilai Fadli Zon telah mengabaikan hasil kerja tim tersebut.
Apalagi suara para korban, keluarga korban, juga hasil dari kajian TGPF sudah sangat nyaring terdengar sejak dulu.
Justru seharusnya penegakan hukum yang mereka perlukan, bukan pengingkaran kebenaran yang menyakitkan, lanjutnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kerusuhan Mei 1998 tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga penderitaan perempuan akibat kekerasan seksual.
Fakta-fakta itu telah didokumentasikan oleh Komnas Perempuan dan mendapat perhatian dunia.
Fakta-fakta tentang pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa telah tercatat dalam laporan Komnas Perempuan, TGPF, dan menjadi perhatian dunia internasional.
Mengingkari fakta tersebut sama saja dengan merendahkan martabat para korban dan menutup ruang pemulihan bagi mereka, tutup Nihayatul.
Pernyataan Fadli Zon kini menjadi sorotan luas dan mendorong kembali perdebatan tentang pentingnya pengakuan sejarah serta pemulihan hak-hak korban tragedi 1998. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok