
Repelita Jakarta - Pegiat media sosial dokter Tifauzia Tyassuma atau dokter Tifa menegaskan dirinya bersama dua alumni Universitas Gadjah Mada lainnya tidak pernah takut menghadapi pelaporan dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo terkait dugaan ijazah palsu.
Kalau kalian mengira kami takut, kalian salah besar.
Dokter Tifa menyampaikan hal itu melalui akun X miliknya @DokterTifa pada Kamis 5 Juni 2025.
Ia menyatakan bahwa mereka justru menunjukkan nyali dan tekad untuk menelusuri berbagai kejanggalan yang mereka temukan.
Dokter Tifa menjelaskan bahwa jika Rismon Sianipar seorang pakar digital forensik merasa takut, ia bisa saja tetap berada di luar negeri.
Ia bisa menikmati profesinya sebagai konsultan forensik internasional dengan penghasilan miliaran per tahun, keliling dunia bersama istrinya.
Namun, kata dokter Tifa, Rismon memilih pulang ke Indonesia karena tersentuh oleh kejanggalan dokumen dan skripsi yang ditemukan di kampus UGM.
Ia merasa terdorong oleh cintanya pada almamater untuk membongkar keanehan yang mengusik akal sehatnya.
Sementara itu Roy Suryo, kata dokter Tifa, seharusnya bisa saja meneruskan hobi fotografi dan penelitian telematika sambil menikmati hidup dengan koleksi mobil tuanya dan 20 ekor kucing eksotis.
Namun, Roy tergelitik melihat banyak foto-foto di internet yang dinilainya janggal secara teknis.
Dengan keahliannya di bidang telematika dan analisis gambar, Roy Suryo merasa ada jejak yang perlu diselidiki lebih jauh.
Termasuk dirinya sendiri, kata dokter Tifa, ia bisa saja tetap tenang mengamati epidemiologi di desa-desa, menulis dan merenung, menikmati langit dan hujan di rumahnya yang jauh dari hiruk-pikuk.
Namun ada naluri yang bangkit ketika melihat dokumen dan foto-foto di internet yang tampak tak selaras dengan karakter subjeknya.
Kata dokter Tifa, ketika anatomi, perilaku, dan dokumen makin menunjukkan anomali, ia dan dua koleganya justru makin fokus.
Ketika hasil observasi kami bertemu di satu titik hipotesis yang sama, kami heran dan cemas.
Kami bertiga sebelumnya belum pernah saling bertemu apalagi berdiskusi, tapi kesimpulan kami sama.
Dari situ, kata dokter Tifa, mereka pun sepakat untuk berangkat ke UGM pada 15 April 2025 tanpa janjian untuk mencari kejelasan.
Ia mengatakan bahwa langkah mereka bukan karena kebencian atau dendam, tapi karena rasa tanggung jawab intelektual.
Namun, orang yang merasa tersinggung karena dokumen dan foto-fotonya disorot justru bereaksi dengan melaporkan mereka ke polisi.
Dengan pasal-pasal berat ancaman 8 hingga 12 tahun penjara.
Seakan tidak cukup memenjarakan Bambang Tri.
Seakan tidak cukup memenjarakan Gus Nur.
Kalau memang tidak ada yang disembunyikan, kata dokter Tifa, mestinya cukup tunjukkan ijazah dan semuanya selesai.
Tetapi yang terjadi justru pelaporan hukum yang menurutnya membungkam dan menindas pencari kebenaran.
Kalian bisa lihat sendiri kami tetap lanjutkan penelitian tentang ijazah dan foto-foto mencurigakan itu.
Kami sampaikan hasilnya ke publik karena kami ingin rakyat tahu kebenaran.
Kami tak ingin anak-anak negeri ini hidup dalam kebohongan.
Ia menyebut hanya orang picik yang mengira mereka takut hanya karena ada meme mengenakan baju tahanan.
Penakut itu kalian.
Yang hanya diam dan membisu.
Yang ramai-ramai membully kami.
Tuhan tahu isi hati kami.
Kami tak mau gagal jadi manusia yang diberi akal sehat untuk berpikir dan memberi manfaat.
Dokter Tifa menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam melihat kebohongan.
Kami tak mau menghadap Tuhan dengan malu karena membiarkan kebohongan di depan mata dan kami hanya diam seperti batu. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

