Repelita Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan penolakannya terhadap rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional.
Mahfud menegaskan bahwa sejarah seharusnya ditulis oleh para ilmuwan, bukan pemerintah, agar tidak terdistorsi oleh kepentingan kekuasaan.
Menurutnya, sejarah yang ditulis negara berisiko berubah-ubah sesuai kehendak politik yang sedang berkuasa.
"Saya enggak setuju. Sejarah kalau ditulis oleh negara nanti berubah lagi, karena yang ditulis oleh negara sudah banyak," kata Mahfud melalui kanal YouTube pribadinya, Kamis, 19 Juni 2025.
Mahfud menyampaikan kekhawatirannya bahwa proyek penulisan sejarah oleh pemerintah bisa melahirkan klaim sepihak dan berujung kontroversi.
Ia mencontohkan bagaimana buku sejarah karya Mohammad Yamin dulu dipuji, namun kemudian banyak dipersoalkan karena isinya dinilai keliru.
“Klaim baru, nanti akan diklaim lagi, itu salah. Dulu bukunya Yamin dipuji-puji, lalu katanya salah. Ini kan ditulis lagi, ditulis lagi,” ujarnya.
Mahfud juga menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Ia menyebut pernyataan tersebut bertolak belakang dengan kesaksian korban dan temuan investigasi resmi.
"Tahun 1998 saya sudah jadi dosen. Jadi, logika saya mengatakan memang terjadi peristiwa pelanggaran HAM di tahun 1998. Sebelum Komnas HAM menentukan, itu kan ada TGPF yang ada Hermawan Sulistyo atau Kiki. Itu dia bicara ada pelanggaran," terang Mahfud.
Mahfud menambahkan bahwa ada kesaksian langsung dari korban kekerasan seksual yang tidak dapat diabaikan.
"Ada seorang tokoh terkenal sekali, dia trauma karena istri dan anaknya diperkosa di depan dia. Dia pergi ke Amerika Serikat, sudah pulang ke Indonesia, dia cerita. Kalau saya lihat dengan mata karena anak dia dan istri dia (menjadi korban)," ungkapnya.
Ia menekankan bahwa pelanggaran HAM berat tahun 1998 telah dinyatakan sebagai fakta hukum oleh Komnas HAM sesuai mandat undang-undang.
Temuan resmi tersebut, lanjut Mahfud, tidak dapat dihapus begitu saja, sekalipun ingin ditiadakan dari narasi sejarah oleh pemerintah.
"(Temuan Komnas HAM) enggak bisa dihapus. Hapus dalam buku, besok akan ditulis orang lagi dalam sejarah yang berbeda," tuturnya.
Mahfud juga mengingatkan bahwa penyelesaian non yudisial terhadap pelanggaran HAM telah mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Oleh sebab itu, ia menyimpulkan bahwa sejarah pelanggaran HAM tidak bisa dihilangkan, meski proses pengadilannya masih bisa diperbaiki.
“Sejarahnya tidak bisa dihapus. Tetapi mungkin pengadilannya bisa diperbaiki. Biarkan sejarawan menulis sendiri. Orang bisa analisis sendiri," pungkas Mahfud. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok