Repelita New Delhi - Kecelakaan pesawat Boeing 787-8 Dreamliner milik Air India dengan nomor penerbangan AI171 pada 12 Juni 2025 memicu kembali sorotan atas dugaan cacat struktural pada pesawat produksi Boeing.
Pesawat yang jatuh tak lama setelah lepas landas dari Ahmedabad itu menewaskan lebih dari 200 orang.
Pesawat sempat mengudara hingga ketinggian 625 kaki sebelum kehilangan sinyal dan mengeluarkan panggilan darurat.
Lokasi jatuhnya berada di kawasan permukiman dan menyebabkan kebakaran hebat setelah menabrak asrama sekolah kedokteran.
Insiden ini menjadi kecelakaan fatal pertama bagi model Dreamliner sejak diperkenalkan secara komersial pada 2011.
Direktorat Jenderal Penerbangan Sipil India kini menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut.
Namun, hingga saat ini belum ada konfirmasi apakah insiden ini berkaitan dengan laporan-laporan pelapor sebelumnya soal cacat produksi Dreamliner.
Boeing menyampaikan belasungkawa atas tragedi tersebut dan mengaku siap mendukung penyelidikan.
Perusahaan membantah tuduhan adanya risiko struktural yang disampaikan oleh salah satu insinyurnya, Sam Salehpour.
Salehpour, yang telah lebih dari satu dekade bekerja di Boeing, sebelumnya memperingatkan adanya proses perakitan badan pesawat yang dinilai tidak aman.
Ia menyebut beberapa bagian tubuh pesawat disambungkan secara paksa, bahkan dengan metode melompat ke badan pesawat untuk menyamakan lubang pengencang.
Menurutnya, tindakan seperti itu dapat mempercepat kerusakan material setelah ribuan penerbangan.
Tuduhannya juga mencakup model Boeing 777, dengan klaim penggunaan gaya berlebihan dalam pemasangan sambungan yang bisa memicu kelelahan logam lebih cepat.
Peringatan Salehpour telah dilaporkan secara resmi kepada Badan Penerbangan Federal AS (FAA), yang kemudian memulai investigasi terhadap proses produksi Boeing 787.
Ia mengaku mendapat tekanan dan dipindahkan ke program pesawat lain setelah mengungkap masalah tersebut.
Pengacaranya menuding Boeing mencoba membungkam Salehpour dan mengabaikan keselamatan demi target produksi.
Sebelum Salehpour, mantan inspektur kualitas Boeing bernama John Barnett juga pernah menyuarakan kekhawatiran serupa.
Barnett memperingatkan bahwa pabrik Boeing di North Charleston, tempat pesawat AI171 dibuat, telah menggunakan suku cadang yang tak aman dan dokumen yang dipalsukan.
Ia menyebut ada sistem oksigen yang dipasang tanpa sterilisasi dan serpihan logam yang tertinggal dalam badan pesawat.
Barnett juga menyebut para insinyur dipaksa menutup mata terhadap pelanggaran demi mengejar tenggat waktu produksi.
Ia meninggal pada Maret 2024 sebelum kasusnya diselesaikan di pengadilan.
Boeing mengklaim bahwa semua masalah yang diangkat Barnett telah ditangani sejak ia pensiun pada 2017.
Perusahaan juga menegaskan bahwa tidak ditemukan dampak pada keselamatan berdasarkan hasil analisis teknik mereka.
Namun, peringatan dari Barnett kembali menjadi sorotan setelah jatuhnya AI171.
Model 787 Dreamliner memang telah berulang kali disorot karena masalah keselamatan, mulai dari penundaan pengiriman, investigasi oleh FAA, hingga tuduhan adanya puing dan pengikat yang tidak tepat di dalam pesawat.
FAA bahkan pernah menghentikan pengiriman 787 selama hampir dua tahun pada 2021 karena celah pada sambungan badan pesawat.
Meski Boeing mengklaim masalah telah diperbaiki, sejumlah kalangan tetap meragukan kualitas produksinya.
Sorotan terhadap Boeing makin meningkat pasca insiden pintu meledak pada 737 Max tahun 2024 dan kasus manipulasi sertifikasi pesawat.
Pada Mei 2025, perusahaan sepakat membayar denda senilai 1,1 miliar dolar AS kepada Departemen Kehakiman AS atas tuduhan menghalangi pengawasan federal.
Penyelidikan masih terus berlangsung untuk memastikan apakah ada hubungan antara kecelakaan terbaru ini dengan tuduhan pelapor tentang potensi cacat struktural Dreamliner. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

