
Repelita Jakarta - Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan ekonomi bayangan terbesar secara global.
Dalam laporan Global Shadow Economy EY Report 2025 yang dipublikasikan di media sosial pada 10 Juni 2025, Indonesia menempati posisi kelima dengan nilai ekonomi bayangan mencapai 326 miliar Dolar AS atau sekitar Rp5.304 triliun.
Angka tersebut setara dengan 23,8 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Dengan kata lain, hampir seperempat dari keseluruhan aktivitas ekonomi di Indonesia berlangsung tanpa tercatat secara resmi.
Peringkat Indonesia bahkan mengungguli Tiongkok yang berada di urutan pertama secara nominal dengan nilai mencapai 3,6 triliun Dolar AS.
Meski nilai absolut Tiongkok lebih besar, proporsinya terhadap PDB hanya 20,3 persen.
Sementara, rasio ekonomi bayangan Indonesia lebih tinggi daripada negara berkembang lain seperti Brasil yang mencatatkan 448 miliar Dolar AS atau 20,6 persen dari PDB.
Begitu pula dengan Meksiko yang memiliki ekonomi bayangan senilai 320 miliar Dolar AS atau 17,9 persen dari PDB.
Tingginya angka ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap kegiatan ekonomi nasional masih menghadapi tantangan besar.
Ekonomi bayangan merujuk pada aktivitas ekonomi yang tidak terdata oleh sistem resmi negara.
Kegiatan ini meliputi transaksi yang luput dari pencatatan pajak, sering menggunakan uang tunai, dan tidak tercatat dalam sistem pelaporan keuangan.
Ada tiga bentuk utama dalam aktivitas ini.
Pertama, produksi bawah tanah yang legal namun disembunyikan dari otoritas negara.
Kedua, produksi ilegal yang menghasilkan barang atau jasa yang bertentangan dengan hukum.
Ketiga, sektor informal, yaitu kegiatan ekonomi yang sah namun dalam skala kecil dan tak terjangkau sistem regulasi resmi.
Meski sektor informal sering menjadi tumpuan hidup bagi pelaku UMKM dan pekerja harian, skalanya yang besar juga menunjukkan potensi kerugian negara.
Negara kehilangan potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar akibat tidak tercatatnya aktivitas tersebut.
Selain itu, kondisi ini juga membuka peluang tumbuhnya praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan di berbagai lini pemerintahan.
Lemahnya integrasi data dan belum meratanya sistem perpajakan dinilai sebagai pemicu utama mengapa shadow economy tumbuh subur.
Masih tingginya transaksi tunai juga mempersulit proses pelacakan dan pelaporan ekonomi.
Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa aktivitas sektor informal di Indonesia paling banyak ditemukan pada perdagangan kecil, jasa lokal, serta sektor pertanian.
Transaksi dilakukan tanpa bukti tertulis atau laporan resmi.
Kondisi ini menyulitkan pemerintah dalam melakukan perencanaan dan penyusunan kebijakan ekonomi secara akurat.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

