Repelita Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis atau MBG kembali menuai sorotan usai menu yang dibagikan di sejumlah sekolah dinilai tidak sesuai harapan.
Di sebuah SD negeri di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, menu MBG yang dibagikan ternyata hanya berupa biskuit kemasan.
Sementara di wilayah lain di Tangerang, pembagian dilakukan dalam bentuk bahan makanan mentah saat momen class meeting menjelang libur sekolah.
Distribusi MBG dalam bentuk seperti ini menimbulkan kekhawatiran dan pertanyaan publik mengenai efektivitas program tersebut.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto ikut angkat suara dan menyatakan keprihatinannya.
Ia mendesak Badan Gizi Nasional segera menerbitkan petunjuk teknis atau juknis pelaksanaan MBG selama masa libur sekolah.
Menurut Edy, distribusi MBG saat ini menunjukkan lemahnya koordinasi serta kurangnya kontrol teknis di lapangan.
"Ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan kontrol teknis di lapangan," ujar Edy.
Ia mengingatkan bahwa pemerintah telah berkomitmen untuk tetap memberikan MBG meski sekolah sedang libur.
Namun, realisasi program di lapangan justru menunjukkan bahwa komitmen tersebut belum didukung sistem yang matang.
"Libur sekolah pada minggu ketiga Juni hingga awal Juli sudah ada di kalender akademik. Seharusnya BGN jauh-jauh hari sudah mengantisipasi ini dengan memikirkan bagaimana pemberian MBG," tambahnya.
Edy menilai bahwa juknis yang jelas sangat dibutuhkan agar Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi memiliki acuan dalam menjalankan tugas, terutama terkait gizi anak-anak.
Ia juga mengkritik pembagian bahan mentah yang justru bisa menurunkan efektivitas program.
"Memberikan bahan mentah justru berisiko mengurangi asupan gizi mereka karena belum tentu bisa diolah dengan baik di rumah. Apalagi, tidak semua orang tua punya waktu, alat, atau pengetahuan memasak yang memadai," tegasnya.
Edy mengingatkan bahwa MBG merupakan program prioritas yang seharusnya terbebas dari hambatan teknis dan birokrasi.
"MBG adalah janji besar negara kepada anak-anak Indonesia. Jangan dikerdilkan hanya karena masalah teknis dan birokrasi yang lambat," pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok