Repelita, Jakarta - Kejaksaan Agung mengungkap penyebab utama kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman atau Sritex, usai penangkapan mantan Direktur Utamanya, Iwan Setiawan Lukminto, di Solo, Jawa Tengah.
Penangkapan dilakukan pada Selasa malam, 20 Mei 2025.
Iwan ditangkap terkait kasus dugaan korupsi yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp692 miliar lebih.
Selain Iwan, dua orang lainnya juga telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Dicky Syahbandinata, mantan pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank BJB tahun 2020, serta Zainuddin Mappa, eks Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020.
Ketiganya kini ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung untuk proses penyidikan selama 20 hari ke depan.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar mengungkapkan, perkara ini bermula dari pemberian kredit dari Bank BJB dan Bank DKI kepada Sritex.
Namun, kredit tersebut diduga tidak sesuai ketentuan perbankan.
Setelah penyidikan, ditemukan adanya kejanggalan dalam laporan keuangan Sritex.
Pada tahun 2020, perusahaan mencatat laba sebesar Rp1,24 triliun, namun pada 2021 justru mengalami kerugian drastis mencapai Rp15,66 triliun.
Menurut Qohar, fluktuasi ini menimbulkan kecurigaan mendalam terhadap tata kelola keuangan perusahaan.
Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa Sritex dan anak perusahaannya memiliki total pinjaman yang belum lunas hingga Oktober 2024 sebesar lebih dari Rp3,5 triliun.
Kredit tersebut bersumber dari Bank Jateng, BJB, Bank DKI, serta konsorsium bank yang melibatkan BNI, BRI, dan LPEI.
Rinciannya antara lain kredit dari Bank Jateng sebesar Rp395 miliar, dari BJB sebesar Rp543 miliar, dan dari Bank DKI senilai Rp149 miliar.
Sementara itu, LPEI tercatat mengucurkan dana pinjaman hingga Rp2,5 triliun.
Namun, status peringkat kredit Sritex saat itu adalah BB-, yang menandakan risiko gagal bayar yang tinggi.
Menurut Qohar, kredit yang diberikan seharusnya ditujukan kepada perusahaan dengan peringkat minimal A.
Alih-alih digunakan sebagai modal kerja, dana kredit itu diduga diselewengkan oleh Iwan untuk membayar utang pribadi serta membeli aset non-produktif.
Penyidik menemukan bahwa dana tersebut digunakan antara lain untuk pembelian lahan di Yogyakarta dan Solo.
Akibat perbuatan tersebut, pinjaman dari BJB dan Bank DKI masuk kategori kredit macet dengan status kolektibilitas lima.
Lebih lanjut, aset Sritex yang tersedia tidak cukup untuk menutupi kerugian negara karena nilainya lebih kecil dari total utang.
Kondisi ini berujung pada putusan pailit terhadap Sritex oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang pada 2024.
Putusan itu dijatuhkan setelah pengadilan mengabulkan permohonan dari salah satu kreditur, PT Indo Bharat Rayon.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Iwan terlebih dahulu ditangkap di kediamannya di Solo oleh tim penyidik Kejagung.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menyebutkan bahwa saat penangkapan, Iwan masih berstatus sebagai saksi.
Namun, penyidik menemukan indikasi kuat bahwa Iwan berniat untuk menghindari pemeriksaan.
Langkah penangkapan dilakukan untuk mencegah upaya melarikan diri atau ketidakhadiran tanpa alasan yang jelas.
Menurut Harli, tim penyidik telah mendeteksi gerak-gerik Iwan melalui berbagai saluran komunikasi serta koordinasi dengan sejumlah pihak.
Ia menyatakan ada indikasi bahwa yang bersangkutan mulai berpindah-pindah tempat.
Penahanan terhadap Iwan dan dua tersangka lainnya dinilai penting untuk memastikan kelancaran proses hukum.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok