
Repelita, Magelang - Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Prancis Emmanuel Macron menutup kunjungan singkat mereka di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis sore.
Keduanya meninggalkan situs bersejarah tersebut sekitar pukul 15.15 WIB setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam di kompleks candi warisan dunia itu.
Kehadiran Macron dan Prabowo mendapat sambutan hangat dari Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi).
Ketua Umum Permabudhi, Philip Wijaya, menyebut momen itu bukan sekadar agenda kenegaraan, melainkan juga bentuk diplomasi budaya dan spiritual Indonesia di mata dunia.
Menurutnya, kunjungan ini menjadi momentum nyata untuk mempromosikan Candi Borobudur secara global.
Philip mengatakan, kedatangan seorang presiden dari negara Eropa ke Borobudur merupakan pengakuan terhadap nilai budaya dan spiritual yang dimiliki candi tersebut.
Dia menjelaskan, meskipun tidak menyaksikan langsung, dirinya mengetahui bahwa Presiden Macron menolak menggunakan tangga elektrik atau stairlift yang disediakan panitia.
Macron memilih naik ke puncak candi dengan berjalan kaki, sebuah keputusan yang disebut Philip sebagai bentuk penghargaan terhadap nilai sakral Borobudur.
“Presiden Prancis rupanya tidak mau naik, memilih jalan saja. Saya nggak tahu persis alasannya, mungkin ingin menikmati keindahan Candi Borobudur,” ujarnya.
Menurutnya, sikap Macron itu mencerminkan rasa hormat terhadap budaya dan tradisi Indonesia.
Philip juga menanggapi kontroversi terkait pemasangan stairlift di Candi Borobudur.
Ia menyebut pemasangan alat bantu itu sebenarnya bertujuan memudahkan akses bagi tamu negara seperti Macron.
Pemerintah disebut telah mengantisipasi potensi kerusakan dengan menggunakan pelat logam yang tidak melubangi struktur candi.
"Semua langkah sudah sesuai dengan rekomendasi UNESCO. Kami yakin semua tindakan telah melalui pertimbangan yang matang," kata Philip.
Permabudhi, lanjutnya, menyikapi pemasangan fasilitas itu secara positif dan terbuka.
Philip juga menyampaikan harapan agar catra-mahkota stupa utama yang saat ini disimpan di Museum Borobudur bisa dikembalikan ke tempat semula.
Ia menilai, pengembalian catra akan menambah kekhusyukan ibadah umat Buddha serta menarik perhatian para peneliti dan peziarah internasional.
“Catra itu bukan sekadar bagian arsitektur, tapi melambangkan kesempurnaan spiritual. Jika dikembalikan, akan memperkuat aura kesucian Borobudur,” ujarnya.
Philip menyebut pihaknya sudah berdiskusi dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenai hal itu.
"Kalau lengkap, auranya pun terasa utuh. Moga-moga dalam waktu dekat catra bisa dinaikkan kembali," tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

