Repelita, Solo - Prosedur pembatasan akses media yang terjadi di depan rumah mantan Presiden RI ke-7 di Sumber, Solo menuai sorotan tajam.
Seorang wartawan, Ichsan Nur Rosyid, mengungkap bahwa para jurnalis yang biasa meliput di sana dipanggil masuk dengan syarat menyerahkan semua kamera, ponsel, dan alat perekam di gerbang.
Tak ada dokumentasi yang diizinkan.
Wartawan hanya diminta mengandalkan pengamatan pribadi, menghafal, lalu menceritakan kembali apa yang mereka lihat.
Di dalam, mereka hanya diperlihatkan secara sekilas tanpa boleh memotret.
Kondisi ini dinilai sangat menyedihkan di era keterbukaan informasi.
Pers seharusnya bisa bekerja dengan bukti visual, audio, dan video, bukan hanya berdasarkan ingatan.
Roy Suryo menilai situasi ini mirip dengan masa Orde Baru, ketika media dibatasi dan diawasi secara ketat.
Ia juga membandingkan dengan era Komunis di Jerman Timur dan masa pemerintahan Stalin di Uni Soviet, di mana wartawan hanya boleh meliput sesuai arahan rezim.
Menurut Roy, organisasi jurnalis seperti PWI, AJI, IJTI, hingga PWOIN seharusnya bersikap.
Pembatasan semacam ini melemahkan kualitas jurnalistik dan membahayakan karena rawan mengundang disinformasi.
INR, dalam kesaksiannya di YouTube, mengaku tidak yakin apakah dokumen yang diperlihatkan benar-benar ijazah asli JkW atau hanya mirip.
Ia hanya menyebutnya sangat mirip tanpa bisa menunjukkan bukti apapun.
Roy menyebut kesaksian semacam itu hanya sekelas obrolan warung kopi.
Bahkan soal pertanyaan kacamata, jawaban JkW yang menyebut karena minusnya sedikit, maka tidak dipakai lagi dianggap konyol.
Ironisnya, menurut Roy, saat perwakilan masyarakat dari TPUA dan Tim Pemburu Ijazah Palsu mendatangi rumah JkW, mereka justru ditolak.
Mereka diminta menunggu proses hukum jika ingin melihat dokumen tersebut.
Sikap tertutup ini justru memunculkan lebih banyak kecurigaan.
Roy kemudian membandingkan dengan Mohammad Hatta.
Ijazah Bung Hatta dari universitas di Belanda kini bahkan dipajang di kampus Erasmus Universiteit Rotterdam.
Hatta lulus dari jurusan Ilmu Perdagangan tahun 1932 dan menjadi kebanggaan Indonesia.
Ijazah beliau dapat diakses dan dilihat secara terbuka oleh masyarakat internasional.
Roy menilai, jika tidak ada yang disembunyikan, seharusnya ijazah JkW juga bisa dibuka ke publik.
Menyembunyikan hanya akan menambah kegaduhan.
Roy menegaskan bahwa persoalan ini akan semakin panas jika tidak ada transparansi.
Ia pun mendorong agar desakan untuk mengadili dan memakzulkan JkW terus digaungkan melalui tagar #AdiliJokowi dan #MakzulkanFufufafa.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok