Repelita Jakarta - Rangkaian kegiatan pembekalan atau retret kepala daerah yang berlangsung di Magelang, Jawa Tengah telah berakhir pada Jumat. Ratusan kepala daerah yang terdiri dari gubernur, wali kota, dan bupati yang telah dilantik Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari kembali ke daerah masing-masing setelah mengikuti kegiatan tersebut selama sepekan.
Namun, di tengah penyelenggaraan retret, sosok Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, justru menjadi perbincangan di media sosial. Sultan HB X disebut tidak termasuk dalam daftar peserta retret di Magelang.
Hal ini berkaitan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menetapkan bahwa DIY merupakan daerah provinsi dengan keistimewaan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka NKRI.
Dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c undang-undang tersebut disebutkan bahwa syarat mengemban jabatan Gubernur DIY adalah bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono. Begitu pula dengan Wakil Gubernur DIY yang harus bertakhta sebagai Adipati Paku Alam.
Selain itu, dalam Pasal 1 ayat (4) dan (5) ditegaskan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman merupakan warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun.
Dengan adanya regulasi ini, tidak ada Pilkada di Yogyakarta, sebab jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY secara otomatis diemban oleh Sri Sultan Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menjelaskan bahwa Sultan HB X belum lama ini dilantik untuk periode jabatan hingga 2027. Oleh karena itu, ia tidak termasuk dalam rombongan kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada 2024.
Keistimewaan Yogyakarta tidak terlepas dari kontribusinya dalam sejarah republik. Yogyakarta memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi tokoh sentral dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Ia adalah salah satu raja yang lebih awal mengintegrasikan Yogyakarta dengan Indonesia serta merelakan harta Keraton untuk membiayai perjuangan bangsa.
Selain itu, Yogyakarta juga pernah menjadi ibu kota negara ketika Belanda melancarkan agresi militer pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia antara 1945-1949.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok