
Repelita Jakarta - Peneliti ISEAS, Made Supriatma, menyoroti pertemuan delapan pengusaha besar di Istana yang melibatkan nama-nama seperti Sugianto Kusuma alias Aguan, Garibaldi "Boy" Thohir, Tommy Winata, Prajogo Pangestu, Anthony Salim, Dato Sri Tahir, dan Franky Widjaja.
Supriatma menilai keberadaan mereka di lingkaran kekuasaan bukanlah hal baru, tetapi mencerminkan bagaimana dinamika kekuasaan di Indonesia tidak banyak berubah dari masa ke masa.
“Hukum kodok, di luaran isu beredar secara liar. Ada banyak ketidakberesan di negeri ini bersumber dari orang-orang ini,” ujar Supriatma melalui akun media sosialnya.
Ia menyinggung berbagai isu yang melibatkan para taipan tersebut, mulai dari proyek pagar laut hingga kasus pengoplosan yang hingga kini tidak jelas ujungnya. Menurutnya, isu pagar laut yang sebelumnya ramai diperbincangkan mendadak menghilang tanpa kejelasan.
"Menteri-menteri yang dulu ribut, semua diam. Bahkan ada yang kantornya terbakar," tambahnya.
Supriatma menilai insiden tersebut bisa menjadi peringatan bagi siapa saja yang mencoba melawan kekuatan besar di balik berbagai kebijakan yang menguntungkan segelintir elite ekonomi.
"Metafornya, terbakar pula ujung jas-nya. Sebagai peringatan, jangan main-main," sebutnya.
Ia menegaskan bahwa para pemilik modal besar ini telah berperan dalam dinamika politik dan ekonomi Indonesia sejak era Orde Baru hingga sekarang.
"Semua sama saja. Tidak ada yang berubah di negeri ini. Penguasanya ya itu-itu saja. Isu ini dan itu saling bertumpuk," katanya.
Menurut Supriatma, situasi ini bukan disebabkan oleh satu rezim tertentu, melainkan karena sistem yang ada memungkinkan pemain lama tetap berkuasa dan semakin kuat.
“Bukan karena kesalahan rezim yang sekarang—yang adalah kelanjutan dari rezim sebelumnya. Juga bukan karena ganti pemain. Pemain-pemainnya tetap sama, dari sejak zaman Suharto sampai sekarang," tegasnya.
Ia juga menyoroti bagaimana taipan-taipan besar semakin kuat dalam mengendalikan kebijakan negara. Salah satu indikasinya, menurutnya, adalah upaya Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mempertahankan Sri Mulyani di kabinetnya.
"Itu juga yang menjelaskan mengapa Mbah Wowo berusaha keras supaya Sri Mulyono Nipunegoro tetap bersamanya," ungkapnya.
Supriatma menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa hukum kekuasaan di Indonesia masih mengikuti pola lama, di mana mereka yang berada di puncak akan terus mengamankan kepentingannya.
"Hukum kodok, menendang ke bawah untuk bisa melesat ke atas dan nguntal sebanyak-banyaknya. Orang-orang ini punya perut tanpa dasar. Apa saja diuntal!" pungkasnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

