Repelita Bandung - Kasus Aguan, yang melibatkan skandal pagar laut di dekat PIK 2, menyimpan tiga kemungkinan makna: menggantung, tergantung, atau digantung. Ketiganya mencerminkan nasib Aguan dalam proses hukum dan politik yang sedang berlangsung. Hal ini diungkapkan oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan, dalam tulisannya.
Menggantung, artinya kasus Aguan bisa saja tidak tuntas atau tidak jelas penyelesaiannya. Hal ini terjadi jika pernyataan pengacara Aguan yang menyatakan kliennya tidak tahu menahu soal pagar laut di PIK 2 diterima begitu saja tanpa investigasi mendalam. Fokus yang hanya pada pelanggaran Arsin Kades Kohod atau keterlibatan Lijaya dan Engcun juga dapat membuat kasus ini menggantung, sementara Aguan bebas dari jeratan hukum.
Tergantung, nasib Aguan sangat bergantung pada keputusan politik Prabowo Subianto. Apakah Prabowo memiliki keberanian untuk melepas Aguan atau justru memilih melindunginya? Jika dilindungi, Aguan bisa saja lolos untuk ketiga kalinya setelah sebelumnya terbebas dari kasus penyelundupan barang elektronik dan suap reklamasi pantai Jakarta. Nasib Aguan kini sepenuhnya berada di tangan Prabowo.
Digantung, adalah opsi terberat yang bisa dijatuhkan kepada Aguan jika berbasis pada bukti kolusi, korupsi, dan subversi. Kolusi sudah terlihat jelas, sementara delik korupsi dan makar membuat negara dalam negara bisa menjadi dasar hukuman mati. Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa bentuk hukuman mati adalah gantung. Aguan layak digantung jika terbukti melakukan pelanggaran berat tersebut.
PIK 2 dengan manipulasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dan agenda reklamasi pagar laut adalah skandal besar yang tidak boleh dibiarkan menggantung atau tergantung. Kasus ini harus diselesaikan tuntas untuk menjaga moralitas bangsa dan mencegah investasi yang menghalalkan segala cara. PIK 2 menjadi ujian nyali bagi pembela konstitusi dan ideologi negara.
Aguan, yang merupakan teman kolusi mantan Presiden Jokowi, disebut sebagai parasit bangsa. Jokowi, yang dianggap hanya sebagai "ulat pemakan daun" penggerus kekayaan negara, telah menjadi santapan "Naga" China. Indonesia pun perlahan dimakan oleh China melalui agen-agennya yang merajalela di dalam negeri. Fenomena ini mengubah Negara Pancasila menjadi Negara Mafia.
Solusi strategis untuk memajukan Indonesia adalah dengan memilih opsi digantung. Bermitra dengan Aguan bukanlah simbiosis mutualisme, melainkan parasitisme. Aguan dianggap sebagai parasit bangsa yang merugikan. Jika Prabowo tidak ingin menjadi parasit bangsa, ia harus melepas Aguan. Jika tidak mampu menghukumnya di dalam negeri, deportasi ke China bisa menjadi alternatif.
Indonesia saat ini sedang sakit demam, panas dingin akibat digigit nyamuk-nyamuk China yang membawa malapetaka. Nyamuk durjana itu telah merusak tatanan bangsa dan negara. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok