Repelita Jakarta - Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana membuka peluang serangga masuk dalam menu program Makan Bergizi Gratis (MBG). Wacana ini untuk menyesuaikan potensi sumber daya yang ada di setiap daerah.
Dokter Spesialis Gizi Klinik RS Universitas Indonesia (RSUI), Anna Maurina Singal menilai tidak masalah serangga masuk dalam menu program MBG sebagai sumber protein. Asalkan, kata dia, pengolahan serangga itu dilakukan dengan benar dan memerhatikan hal-hal penting lainnya.
"Perlu diperhatikan berbagai metode khusus dalam kita mengolah serangga menjadi makanan," kata Anna saat dihubungi merdeka.com, Senin (27/1).
Anne mengingatkan, serangga harus diolah dengan benar untuk dapat menjadi sumber protein yang baik dalam MBG. Misalnya, pada awalnya, harus dipastikan bahwa virus atau bakteri dalam serangga benar-benar mati sebelum dikonsumsi, seperti melalui proses pemanasan yang benar, dengan suhu tertentu.
“Serangga ini bisa dihancurkan atau disajikan masih dalam bentuk utuh. Nah, masalahnya kan di daerah-daerah Indonesia hanya tempat-tempat tertentu saja kan yang sudah familiar dengan makanan serangga ini, dalam bentuk utuh, bener kan?" ujarnya.
“Seperti misalnya larva, kemudian belalang, laron yang dibuat peyek. Nah itu kalau misalnya memang masyarakat di suatu daerah itu sudah biasa, ya itu tidak masalah,” sambungnya.
Anne mengingatkan, pemerintah perlu memastikan kadar protein yang diberikan cukup untuk memenuhi kebutuhan protein penerima MBG. Dia tidak ingin pemberian protein bersumber dari serangga tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan protein harian penerima MBG.
Contohnya, seorang anak membutuhkan 40 gram protein per hari. Sementara pemerintah hanya memberikan 5 gram protein dari serangga tanpa disertai dengan pemenuhan protein dari makanan lainnya secara lengkap.
"Itu kan menjadi percuma. Jadi, hanya membuang uang saja,” ujarnya.
Anne menyebut ciri dan jenis serangga yang baik untuk dikonsumsi perlu penelitian lebih lanjut. Sebab, baru ada beberapa penelitian mengenai jumlah protein dari serangga yang bisa dikonsumsi.
"Saran saya diperlukan penelitian komprehensif untuk berbagai jenis serangga-serangga di Indonesia sebagai bahan makanan sumber protein untuk bisa masuk ke dalam database Daftar Bahan Makanan Penukar di Indonesia. Di dalamnya akan terdiri atas jenis serangga dan sejumlah berapa banyak dari satu jenis serangga tersebut untuk memberikan jumlah protein, lemak, mikronutrien tertentu," paparnya.
"Untuk saat, bila pun akan diberikan menu protein bersumber serangga, masih terbatas pada jenis serangga yang umum dikonsumsi pada area tertentu, seperti jangkrik, belalang, larva, atau ulat sagu dan hanya pada daerah-daerah tertentu saja," sambungnya.
Anne mengatakan, pemerintah juga harus melakukan monitoring pertumbuhan pada anak secara berkala dan rutin bila memutuskan memasukkan serangga ke menu makanan.
"Nah itu yang harus jadi monitoring yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di area tersebut dan dilakukan secara teratur. Sebulan sekali misalnya. Harus ada plot pada kurva pertumbuhan anak," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebut bahwa serangga bisa masuk ke menu program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam rangka menyesuaikan potensi sumber daya yang ada di setiap daerah.
"Kalau ada daerah-daerah tertentu yang terbiasa makan seperti itu (serangga), itu (serangga) bisa menjadi menu di daerah tersebut,” ucap Dadan ketika dijumpai di sela-sela acara Rampinas PIRA dikutip dari Antara Jakarta, Sabtu (25/1).
Variasi menu tersebut, kata Dadan, merupakan contoh bahwa Badan Gizi Nasional tidak menetapkan standar menu nasional, tetapi menetapkan standar komposisi gizi nasional.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok