Repelita, Jakarta 21 Desember 2024 - Keputusan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku pada tahun 2025 menuai kecaman keras dari berbagai kalangan. Kenaikan PPN ini dianggap memberatkan masyarakat kecil-menengah, terlebih di tengah tingginya beban hidup yang sudah dirasakan banyak warga.
Sejumlah warganet menilai kebijakan ini hanya akan memperburuk kondisi ekonomi rakyat, dengan memperkaya segelintir elite politik dan pejabat negara, tanpa ada timbal balik yang jelas bagi kesejahteraan masyarakat. Petisi "Tolak PPN 12 Persen" pun menjadi viral dan hingga Rabu, 19 Desember 2024, telah berhasil mengumpulkan lebih dari 95 ribu tanda tangan dari masyarakat yang menuntut agar pemerintah segera membatalkan kebijakan ini.
Pada rapat dengan DPR RI pada Jumat, 13 Desember 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengonfirmasi bahwa PPN 12% akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 untuk barang-barang mewah. Barang-barang yang termasuk dalam kategori ini antara lain bahan makanan premium seperti daging wagyu, ikan salmon atau tuna premium, serta buah-buahan dan sayuran impor. Selain itu, jasa pendidikan internasional dan layanan rumah sakit VIP juga akan dikenakan tarif PPN 12%.
Pemerintah juga mengumumkan adanya paket stimulus ekonomi, di antaranya diskon 50% untuk tarif listrik bagi rumah tangga dengan pemakaian di bawah 2.200 watt serta bantuan beras 10 kg untuk 16 juta keluarga. Namun, banyak pihak yang menilai bantuan ini tidak cukup untuk menanggulangi dampak langsung dari kenaikan PPN, terutama karena hanya berlaku selama dua bulan.
Kenaikan PPN ini juga memicu perdebatan sengit di media sosial, dengan banyak warganet yang mengingatkan kembali janji kampanye Prabowo Subianto yang berjanji tidak akan menaikkan pajak dan akan membuat sistem perpajakan lebih efisien. Janji tersebut kini dianggap oleh banyak pihak sebagai janji kosong. Beberapa warganet menilai kebijakan ini sebagai kelanjutan dari kebijakan yang ditetapkan di era pemerintahan Jokowi, mengingat kenaikan PPN ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sudah disahkan pada masa kepemimpinan sebelumnya.
Tanggapan keras juga datang dari warganet yang menilai bahwa kenaikan pajak ini tidak sesuai dengan janji Prabowo untuk mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi pemerintahan. Mereka mengkritik jumlah menteri yang dianggap terlalu banyak dan tidak berhubungan dengan efisiensi yang dijanjikan.
"Pajak 12% ini adalah efek dari kebijakan yang diwariskan oleh Jokowi. Semua ini tidak bisa lepas dari pengaruh kebijakan pemerintah sebelumnya," tulis warganet lainnya, mengutip pandangan yang berkembang di media sosial. Beberapa juga menilai bahwa kebijakan ini lebih menguntungkan untuk menambah pemasukan negara, apalagi untuk program-program besar seperti bantuan makan bergizi yang membutuhkan anggaran besar.
Kenaikan PPN 12% ini tetap menjadi isu hangat yang terus diperbincangkan, dengan banyak pihak yang merasa kecewa terhadap pemerintah yang dinilai tidak menepati janji untuk tidak memberatkan rakyat dengan kebijakan pajak yang lebih tinggi. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok