![]()
Repelita, Jakarta 22 Desember 2024 - Persidangan kasus dugaan korupsi timah terus menimbulkan polemik terkait jumlah kerugian negara yang mencapai Rp300 triliun berdasarkan Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN). Penasihat hukum terdakwa, Junaedi Saibih, mempertanyakan keabsahan penghitungan kerugian negara yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Junaedi menilai bahwa angka kerugian negara yang diperoleh dari penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak pernah dijadikan bukti hukum dalam persidangan. Ia juga menyatakan bahwa pernyataan Jaksa mengenai kewenangan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian negara sudah ketinggalan zaman.
Menurutnya, laporan PKKN yang disusun BPKP tidak pernah diserahkan sebagai bukti kepada pihak penasihat hukum. Dalam paparan ahli BPKP, terlihat bahwa laporan PKKN tersebut tidak memenuhi syarat formil dan materiil. Junaedi juga mengkritik sikap Jaksa yang tidak memahami inti pembelaan pihak terdakwa terkait laporan tersebut.
Junaedi menambahkan bahwa laporan PKKN tidak pernah diberikan kepada penasihat hukum terdakwa, baik dalam persidangan maupun saat ahli BPKP menyampaikan paparannya. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa Jaksa tidak memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa.
Ia juga menekankan bahwa Majelis Hakim seharusnya tidak mempertimbangkan unsur kerugian negara yang didasarkan pada laporan PKKN yang tidak diserahkan kepada penasihat hukum. Hakim hanya bisa mempertimbangkan keterangan ahli BPKP, yang juga memiliki cacat formil dan materiil dalam penyusunan laporan tersebut.
Junaedi mengkritik ahli BPKP yang tidak melakukan verifikasi atas dokumen dan informasi yang diterima, terutama keterangan saksi dan terdakwa. Auditor BPKP juga dinilai tidak mengidentifikasi dan membandingkan semua bukti yang relevan sesuai dengan standar audit yang berlaku.
Salah satu masalah yang disebutkan adalah penggunaan tenaga ahli Bambang Hero, yang laporan penghitungan kerugian lingkungannya selesai sebelum surat tugas penghitungan kerugian keuangan negara dikeluarkan. Hal ini menimbulkan keraguan terkait komunikasi dan kesepahaman antara auditor dan tenaga ahli.
Menurut Junaedi, salah satu contoh ketidaksesuaian adalah perhitungan kerugian yang mencapai Rp271 triliun, yang ternyata mencakup Izin Usaha Pertambangan (IUP) selain PT Timah Tbk dan non-IUP. Ahli BPKP menggunakan keterangan yang didasarkan pada konstruksi perkara yang dibuat oleh penyidik tanpa verifikasi yang memadai.
Junaedi menegaskan bahwa proses audit yang tidak mematuhi Standar Audit Intern Pemerintah (SAIPI) dan Peraturan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi No. 2 Tahun 2024 akan membuat hasil audit PKKN tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

