Sejarah Panggilan Gus, Gelar yang Dinilai Tak Pantas Disandang Gus Miftah
JAKARTA, 6 Desember 2024 – Pendakwah Gus Miftah baru-baru ini mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Langkah ini diambil setelah kontroversi yang melibatkan penghinaan terhadap seorang pedagang es teh, Sunhaji, yang terjadi pada acara ceramah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada 20 November 2024.
Dalam ceramah tersebut, Gus Miftah menyebut Sunhaji dengan kata-kata kasar yang memicu reaksi keras dari netizen. Banyak yang merasa kecewa atas perilaku tersebut, terutama karena pernyataan itu datang dari seorang pendakwah yang seharusnya memberikan contoh yang baik.
Netizen pun mulai mengaitkan gelar "Gus" yang disandang oleh Miftah. Beberapa pihak, termasuk Gus Najih, putra kiai besar Mbah Moen, menyatakan bahwa gelar tersebut tidak pantas disandang oleh Miftah. Menurut mereka, Miftah bukanlah keturunan kiai, sehingga penggunaan gelar Gus bagi dirinya dianggap sebagai upaya untuk memperoleh ketenaran.
Gus Najih secara tegas menyebutkan bahwa banyak orang yang menggunakan gelar Gus meskipun mereka bukan anak kiai, hanya untuk meraih popularitas lebih cepat. Pernyataan tersebut menuai berbagai reaksi dari publik yang mempersoalkan kelayakan penggunaan gelar Gus.
Sementara itu, di tengah perbincangan tersebut, seorang jamaah pengajian sempat bertanya langsung kepada Gus Baha mengenai asal-usul penggunaan gelar Gus. Gus Baha, yang merupakan salah satu ulama terkemuka, memilih untuk tidak memberikan jawaban dan menghindari pertanyaan tersebut.
Sejarah panggilan "Gus" sendiri sebenarnya memiliki akar yang panjang. Menurut Kanjeng Senopati K.R.M.H. Tommy Agung Hamidjoyo, panggilan Gus awalnya digunakan sebagai sebutan bagi putra-putra raja di masa Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Pakubuwono IV, sekitar tahun 1788 hingga 1820 M, gelar ini mulai dikenal di kalangan bangsawan. Dalam perkembangannya, panggilan ini diadopsi oleh kalangan ulama, khususnya di kalangan keluarga pesantren, sebagai gelar untuk putra-putra kiai.
Zamakhsyari Dhofier, seorang ahli budaya, menjelaskan bahwa gelar Gus merupakan singkatan dari "Agus," yang berarti "bagus" dalam bahasa Jawa. Gus diharapkan menjadi penerus kiai dan meneruskan ajaran agama, dengan perlakuan khusus berupa pemberian gelar Gus sebagai bentuk penghormatan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan gelar Gus semakin meluas, bahkan digunakan oleh beberapa orang yang bukan keturunan kiai. Hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, apakah penggunaan gelar tersebut masih relevan dan sesuai dengan makna awalnya.
Kontroversi yang melibatkan Gus Miftah ini telah memicu diskusi yang lebih luas mengenai kelayakan penggunaan gelar Gus di kalangan publik. Banyak pihak yang merasa bahwa penggunaan gelar tersebut harus didasarkan pada keturunan kiai dan bukan hanya untuk tujuan popularitas semata.(*)
Editor: Elok WA R-ID