Jakarta, 6 Desember 2024 – Istilah "rakyat jelata" kembali menjadi sorotan publik setelah juru bicara Presiden Prabowo Subianto, Adita Irawati, menggunakannya dalam komentarnya terkait kontroversi yang melibatkan seorang pendakwah. Penggunaan frasa tersebut menimbulkan kecaman karena dianggap merendahkan martabat rakyat dan tidak sesuai dengan semangat kesetaraan dalam sistem demokrasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "rakyat jelata" merujuk pada "rakyat biasa, bukan bangsawan atau hartawan." Namun, dalam konteks demokrasi modern yang menekankan pada kesetaraan, istilah ini dinilai kurang relevan dan bisa menciptakan kesalahpahaman. Demokrasi menuntut kedaulatan yang ada di tangan rakyat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, atau status.
Kontroversi ini muncul setelah Adita Irawati menyebut "rakyat jelata" dalam komentarnya terkait kasus seorang pedagang es teh yang dihina oleh Gus Miftah. Meskipun Adita memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, banyak pihak melihat penggunaan istilah ini sebagai bentuk hierarki sosial yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan kesetaraan.
Dalam klarifikasinya, Adita menjelaskan bahwa istilah tersebut merujuk pada definisi literal dari KBBI, yakni rakyat biasa. Meski demikian, penggunakan istilah tersebut dianggap tidak sensitif dan berpotensi merusak citra pemerintah di mata publik. Adita juga menekankan bahwa Presiden Prabowo selalu berpihak kepada rakyat kecil, hal ini terlihat dari berbagai program dan pidato yang mencerminkan hal tersebut.
Insiden ini menyoroti pentingnya pemilihan kata dalam komunikasi pemerintah. Sebagai pemerintahan yang mengedepankan prinsip kedaulatan rakyat, setiap komunikasi yang dilakukan oleh pejabat negara harus mencerminkan inklusivitas dan kesetaraan. Istilah seperti "rakyat kecil" atau cukup dengan menyebut "rakyat" dianggap lebih tepat untuk mencerminkan kedudukan setara bagi semua warga negara.
Masyarakat berharap agar pemerintahan Prabowo dapat terus berfokus pada kebijakan yang merangkul seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Keberhasilan pemerintah akan diukur dari sejauh mana prinsip kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan nyata.
Dengan pemilihan diksi yang lebih hati-hati, diharapkan insiden seperti ini tidak terulang kembali dan dapat menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat. Hal ini juga menjadi pengingat bagi publik figur lainnya untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah yang bisa menimbulkan kontroversi atau kesalahpahaman.(*)
Editor: Elok WA R-ID