[Jakarta, 3 Desember 2024] – Proyek Strategis Nasional (PSN) yang seharusnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan kepentingan umum kini mengalami pergeseran. Pemerintah saat ini cenderung memberikan status PSN kepada perusahaan swasta yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan, tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas.
Roni Septian Maulana, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan KPA Nasional, mengungkapkan bahwa pemerintah mudah mengabulkan permohonan perusahaan, terutama yang memiliki koneksi politik. Hal ini menyebabkan PSN yang ada tidak lagi berfokus pada kepentingan publik, melainkan pada keuntungan bisnis tertentu.
Menurut Roni, kebijakan yang terkesan memihak kepentingan bisnis ini berisiko menimbulkan masalah serius, seperti hilangnya kontrol publik terhadap pendanaan dan fasilitas, kerusakan lingkungan, serta meningkatnya potensi korupsi dalam pengadaan tanah. Salah satu contoh nyata adalah kasus korupsi pengadaan tanah di PSN KIHI Bulungan, Kalimantan Utara, di mana tanah warga diambil dengan harga jauh di bawah nilai pasar, bahkan ada yang dibayar hanya Rp3.500 per meter persegi.
Roni menjelaskan bahwa terdapat banyak makelar yang terlibat dalam transaksi tanah tersebut. Selain kalangan swasta, oknum dari berbagai instansi seperti polisi, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan pemerintah daerah juga turut mencari keuntungan. Praktik ini menyebabkan harga tanah yang seharusnya layak untuk masyarakat turun drastis, bahkan menguntungkan pihak-pihak tertentu yang tidak berhak.
“Di tingkat desa dan kecamatan, ada oknum yang terlibat, termasuk polisi dan tokoh agama. Harga tanah yang seharusnya bisa dijual lebih tinggi malah diturunkan menjadi sangat murah. Itu pasti ada korupsi,” tegas Roni.
Lebih parah lagi, ada kasus di mana tanah warga diambil paksa tanpa ganti rugi yang sesuai. Para panitia pengadaan tanah yang merampas tanah tersebut kemudian melaporkan kepada perusahaan bahwa tanah sudah dibebaskan, namun uang ganti rugi yang seharusnya diterima oleh masyarakat justru masuk ke kantong panitia.
Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik, turut mengkritik kebijakan PSN yang lebih menguntungkan konglomerat besar daripada masyarakat di daerah tertinggal. Menurut Agus, PSN seharusnya digunakan untuk mendorong pembangunan di daerah yang belum berkembang, bukan malah untuk memperkaya konglomerat yang sudah mapan. Ia menambahkan, proyek besar semacam PSN justru sering dimanfaatkan oleh pengusaha properti untuk memperoleh tanah dengan harga sangat murah, membuka celah bagi praktik korupsi yang merugikan rakyat kecil. (*)
Editor: Elok WA R-ID