Jakarta, 6 Desember 2024 – Malam itu di Jakarta Selatan, suasana terasa kelam. Di sudut sebuah safe house, seorang remaja berusia 14 tahun, MAS, menunduk di bawah sorotan lampu temaram. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menulis surat permintaan maaf kepada ibunya, sebuah surat yang penuh penyesalan. "Maafin aku udah nyusahin. Makasih semuanya..." tulisnya pelan, setiap kata terasa begitu berat.
Surat itu bukan hanya sekadar permintaan maaf, melainkan juga sebuah harapan untuk masa depan. Di balik jeruji hukum, MAS berjanji untuk menjadi seseorang yang bisa "membantu orang banyak," meski jalannya tampak begitu jauh.
Tragedi di Bona Indah
Sebulan sebelumnya, kawasan perumahan Bona Indah di Lebak Bulus, Cilandak, menyaksikan tragedi mengerikan. Pada dini hari yang sunyi, ayah MAS, APW, dan neneknya, RM, tewas dengan cara mengenaskan. Ibunya, AP, kini terbaring di rumah sakit Fatmawati dengan luka parah. Pertanyaan besar pun muncul: apa yang memicu kemarahan MAS hingga ia melakukan kekerasan brutal terhadap keluarganya? Polisi masih mendalami penyebabnya.
Dari sisi lain, pengacara MAS, Amriadi Pasaribu, menggambarkan bahwa anak ini secara fisik "sehat," meskipun tindakan yang ia lakukan begitu kejam. Surat yang ia tulis menunjukkan kesadaran besar akan kesalahan yang telah terjadi.
Prosedur Hukum bagi Anak
Dalam proses hukum, MAS diperlakukan sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang mengatur perlakuan berbeda antara anak-anak dan pelaku dewasa. Alih-alih ditahan di penjara, MAS ditempatkan di rumah aman milik balai pemasyarakatan (bapas). Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Ade Rahmat Idnal, menjelaskan bahwa langkah ini diambil demi mendukung proses rehabilitasi psikologis dan sosial MAS. Berbagai lembaga, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor), juga dilibatkan dalam proses penyelidikan lebih lanjut.
Cerita yang Tertinggal
Di balik setiap headline dan detail kasus ini, tersisa sebuah cerita yang lebih besar: keluarga yang hancur, seorang ibu yang kehilangan suami dan ibunya, serta seorang anak yang kini menatap masa depan dengan penuh ketidakpastian. Di penghujung suratnya, MAS menulis, "Saya sekarang sehat-sehat saja," namun kata-kata itu menyimpan keheningan yang mendalam. Meski fisiknya sehat, apakah jiwanya juga demikian?
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa setiap kekerasan memiliki akar yang perlu digali lebih dalam. Surat dari MAS, meski hanya ditulis di atas secarik kertas biasa, membawa pesan yang berat—sebuah permintaan maaf dari seorang anak yang kini menjadi pusat perhatian publik.(*)
Editor: Elok WA R-ID