Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Ia meminta pihak kampus lebih meningkatkan kesadaran, terutama saat menangani kasus kekerasan seksual di bawah atapnya sendiri.
“Kampus seharusnya menjadi tempat yang mendukung kebebasan akademis dan memberikan rasa aman bagi seluruh mahasiswa, tanpa terkecuali. Rasa aman itu termasuk memastikan lingkungan perguruan tinggi bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, mental, maupun kekerasan seksual,” kata Puan dalam keterangannya, Sabtu (14/9).
Berdasarkan Survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), kekerasan seksual terbanyak terjadi di perguruan tinggi. Berdasarkan catatan survei Kemendikbud per Juli 2023, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Bahkan menurut pihak Kemendikbud Ristek, data kekerasan yang ditampilkan baik dari media massa dan lembaga survei sudah masuk dalam kategori membahayakan.
Sementara data dari Komnas Perempuan periode 2015-2021, mereka menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dari seluruh laporan tersebut, mayoritasnya atau 35% berasal dari kampus atau perguruan tinggi.
Puan pun menyoroti pentingnya komitmen perguruan tinggi untuk serius menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi.
“Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi selama ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan mekanisme penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi,” kata Puan.
Beberapa waktu terakhir, kasus dugaan kekerasan seksual di sebuah kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi perhatian publik. Berdasarkan informasi, total ada 17 mahasiswi maupun alumni yang diduga menjadi korban pelecehan seksual oknum dosen kampus tersebut.
Hal yang menjadi sorotan adalah karena pihak kampus itu belum memberikan aksi nyata dalam menyelesaikan kasus tersebut. Padahal akibat tindakan pelecehan itu, ada mahasiswi yang trauma hingga berhenti kuliah.
“Kita sangat sesalkan apabila kampus melakukan pembiaran terhadap adanya kasus kekerasan seksual. Sebagai pencetak sumber daya manusia unggul, perguruan tinggi seharusnya dapat berkomitmen menunjukkan integritas dan kredibilitasnya terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hukum, moral, dan etika,” ucap Puan.
Selain di Yogyakarta, pembiaran kasus dugaan kekerasan seksual juga terjadi di sebuah perguruan tinggi di Gorontalo beberapa waktu lalu. Hingga saat ini, belum ada kelanjutan penanganan kasusnya. Pelaku diduga merupakan petinggi kampus di mana setidaknya ada belasan perempuan yang terdiri dari staf kampus, dosen, hingga mahasiswi menjadi korban.
Puan mengatakan, kekerasan seksual yang terjadi di ruang akademis menunjukkan sistem perlindungan belum cukup efektif dalam mencegah maupun menanggapi kasus-kasus kekerasan berbasis gender mengingat mayoritas korban kekerasan seksual merupakan perempuan.
“Ini adalah bagian dari serangkaian masalah kekerasan seksual yang dihadapi perempuan di berbagai ruang publik, termasuk di lingkungan akademis,” tegas Puan.
Menurut Puan, pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang melindungi perempuan dan menjamin kampus sebagai ruang yang aman dan adil bagi semua mahasiswa.
“Rendahnya penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus juga menunjukkan kebijakan yang tidak pro-perempuan. Di tengah kemajuan zaman, seharusnya lingkungan pendidikan menjadi garda terdepan sebagai pihak yang mendukung perlindungan dan pemberdayaan perempuan,” jelas dia.
Puan juga menyoroti vonis terhadap mantan dosen di Bandar Lampung yang terbukti melakukan pemerkosaan atau kekerasan seksual terhadap mahasiswinya.
Pelaku divonis hukuman 8,5 tahun penjara atas perbuatan yang dilakukannya serta wajib membayar denda dan restitusi atas tindakannya.
Masih banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dianggap sebagai betapa kompleks dan mengakarnya masalah ketidaksetaraan gender dalam lingkungan akademis. Menurut Puan, kasus kekerasan seksual tidak hanya menunjukkan kegagalan individu, tetapi juga mencerminkan masalah struktural yang memperkuat kerentanan perempuan di ruang publik.
“Termasuk di kampus yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan inklusif,” ucap dia.
Puan mengingatkan, Indonesia sudah memiliki banyak regulasi hukum untuk melindungi masyarakat dari tindak kekerasan seksual. Seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan inisiatif DPR.
Kemdikbud Ristek juga menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Untuk itu, Puan mendorong pihak kampus untuk tidak segan bertindak tegas terhadap kasus kekerasan seksual.
Puan menegaskan, UU TPKS memastikan korban akan mendapat perlindungan secara komprehensif serta memastikan laporan kasus kekerasan seksual harus ditindaklanjuti.
“Maka korban kekerasan seksual tidak perlu takut untuk speak up. Apalagi saat ini sudah banyak lembaga yang siap memberi pendampingan bagi korban. Masyarakat juga ikut berperan dalam mengawal kasus-kasus kekerasan seksual,” katanya.
Kepada perguruan tinggi, Puan kembali mengingatkan untuk memainkan perannya yang tak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika yang memastikan bahwa setiap individu, terutama perempuan, terlindungi dari segala bentuk kekerasan.
“Sistem penanganan kasus kekerasan seksual harus diperbaiki agar lebih inklusif, dengan melibatkan partisipasi mahasiswa, dosen, serta aktivis hak asasi perempuan. Kebijakan ini harus menjamin akses korban terhadap keadilan, tanpa adanya ancaman atau stigma tambahan,” tutup Puan.