Menyikapi keluarnya kebijakan pemerintah berupa PP 21 tahun 2024 dan PP 25 tahun 2020, tentang Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), Gerakan Buruh Bersama Rakyat menyatakan dengan tegas menolak kebijakan tersebut.
Melalui rilis yang diterima redaksi, Gebrak menyebut rezim Jokowi tak henti-hentinya memberikan kebijakan yang bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Lebih tepatnya dimasa akhir periode Joko Widodo dan Ma’aruf Amin hari ini, rakyat diberikan kembali kebijakan yang buruk melalui agenda TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) yang memaksa kaum buruh dan rakyat memberikan uangnya untuk menjadi peserta TAPERA dengan dalih “agar rakyat memiliki rumah”. Tentu kebutuhan mendasar atas perumahan memang menjadi agenda penting kaum buruh dan rakyat, namun konsepsi yang dibangun dan ditetapkan oleh negara dan rezim Jokowi melalui program yang dibuat menurut kami memiliki haluan yang berbeda dengan apa yang diharapkan oleh kaum buruh dan rakyat Indonesia,” paparnya.
Sebagai pengingat Gebrak kembali mengungkapkan beberapa peristiwa agenda penghimpunan dan pengelolaan uang rakyat melalui badan-badan seperti Taspen, Asabri, Jiwasraya dan Dapen BUMN serta BPJS Ketenagakerjaan yang diduga terjadi praktik-praktik korupsi didalamnya serta investasi dalam proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang anti rakyat.
“Itu menjadi pelajaran penting bagi kami kaum buruh dan rakyat bukan semata-mata hanya karena ada korupsi, namun agenda penghimpunan atau pengelolaan uang rakyat justru malah dirampas oleh para oligarki,” tegas mereka.
Agenda TAPERA yang dituangkan dalam Undang-undang No.4 Tahun 2016 dan dilegitimasi oleh PP 25 tahun 2020 dan direvisi kembali menjadi PP Nomor 21 tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat menurut Gebrak tidak demokratis, partisipatif, inklusif dan transparan karena dalam proses rancangan Peraturan Pemerintahnya (RPP) tidak melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil seperti; Serikat Buruh/Pekerja, Petani, Nelayan, Perempuan, Mahasiswa, Miskin kota, dan elemen rakyat lainnya.
Disamping itu di dalam agenda TAPERA sendiri melalui PP 21 tahun 2024 dan PP 25 tahun 2020 tersebut setidak-tidaknya mencakup beberapa sektor pekerjaan untuk wajib menjadi kepesertaan tapera yang disebutkan dalam pasal 7 PP 25 tahun 2020 yaitu dimulai dari ; ASN, Tentara/Polri, Pekerja/Buruh Swasta, dan Pekerja/Buruh Mandiri dengan skema iuran atau potongan 2,5% hingga 3 % dari upah yang diterima berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat 1 dan 3 PP 25 tahun 2020.
Selain mengatur ketentuan mengenai jenis kepesertaan dan besaran iuran yang wajib dibayarkan, dalam aturan tersebut juga mengatur tentang pengenaan sanksi pada pasal 55 ayat 1 kepada peserta TAPERA khususnya pada kepesertaan mandiri dengan metode sanksi administrasi “ teguran tertulis ” yang menurut Gebrak secara keseluruhan agenda TAPERA ini sudah jauh bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 h ayat 1 yang berbunyi; setiap warga negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Gebrak menambahkan, tentunya kewajiban menjadi peserta dan iuran yang harus dibayarkan setiap bulannya dari kaum buruh dan rakyat akan menambah beban baru dan memperbesar garis kemiskinan yang akan terjadi di negara ini.
Tentu hal tersebut berkontradiksi dengan realitas yang terjadi hari ini yang dialami oleh kaum buruh dan rakyat seperti; lapangan pekerjaan yang sulit, hubungan kerja fleksibel yang mengakibatkan bekerja menjadi tidak pasti (kontrak/outsourcing), upah yang murah dan kenaikan setiap tahunnya sangat kecil (maksimal hanya 0,3%/tahun), kebutuhan sembako dan energi (BBM, listrik dan lainnya) yang harganya semakin melambung tinggi, serta jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah justru tidak maksimal kepada rakyatnya.
“Pada kenyataannya mengapa kaum buruh dan rakyat sulit memiliki rumah salah satunya adalah karena biaya hidup yang tinggi, namun upahnya yang rendah sehingga tidak mampu membeli rumah, kepastian terhadap pekerjaan (status kerjakontrak/ outsourcing/ mitra/ freelancer yang menjadi salah satu hal tersulit dalam mengajukan Kredit Pembiayaan Rumah (KPR), dan akses moda transportasi yang belum modern dan layak serta tidak terintegrasi dengan tempat bekerja.
Selain itu kaum buruh dan rakyat setiap hari dan setiap bulannya pun sudah memikul beban-beban yang begitu berat seperti; membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan (2%) dan kesehatan (1%), pajak penghasilan PPH 21 sebesar 5-10 % dari PTKP, dan pajak-pajak lainnya dari barang atau jasa yang wajib ditanggung kaum buruh dan rakyat.
“Artinya penambahan agenda TAPERA justru semakin memperdalam penderitaan yang dirasakan karena pemaksaan yang dilakukan dan besaran iuran yang wajib dibayarkan. Selain hal tersebut, agenda TAPERA sendiri justru menimbulkan tumpang tindih kebijakan dan program-program yang telah tersedia misalnya saja pada program BPJS Ketenagakerjaan tentang Perumahan Pekerja/Buruh serta program-program lainnya yang ada di setiap Pemerintah Provinsi, Kota dan Daerah tentang perumahan rakyat. Selain itu proses pengadaan tanah atau pembukaan lahan yang menggusur dan merampas hak-hak masyarakat kecil, akan berpotensi menimbulkan konflik baru di sektor Agraria serta berdampak luas pada lingkungan hidup dan kerusakan ekologis,” keluh mereka.
Berdasarkan dengan apa yang telah dijelaskan diatas, maka kemudian aliansi buruh bersama rakyat (GEBRAK) menuntut kepada Presiden Joko Widodo dan sekaligus menyerukan serta mengajak kepada seluruh elemen gerakan rakyat di seluruh provinsi/kota dan kabupaten agar segera menyuarakan pernyataan berikut:
1. Aliansi GEBRAK mengecam dan menolak keras kebijakan TAPERA yang otoriter sebagai solusi rakyat yang tidak memiliki rumah;
2. Aliansi GEBRAK menuntut kepada Presiden Jokowi segera mencabut PP 21 Tahun 2024, serta PP 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat;
3. Aliansi GEBRAK menuntut agar menghentikan program TAPERA dan membuka ruang dialog seluasluasnya dalam agenda penyelenggaraan perumahan untuk rakyat dengan metode dialog secara demokratis, partisipatif, transparan dan inklusif;
4. Aliansi GEBRAK menuntut kepada Negara dan Pemerintah yang berkuasa saat ini dan berikutnya agar membangun perumahan rakyat yang murah, layak, modern, terintegrasi dengan moda transportasi yang layak juga modern, dan bukan melakukan penghimpunan serta pengelolaan uang rakyat untuk kepentingan para oligarki dan investasi bodong;
5. Aliansi GEBRAK menuntut kepada Presiden Jokowi agar segera mencabut Omnibus Law Cipta Kerja beserta seluruh Peraturan turunannya yang menjadi sumber masalah rakyat menjadi tidak sejahtera;
6. Aliansi GEBRAK menyerukan dan mengajak kepada seluruh gerakan rakyat, aliansi gerakan buruh/mahasiswa/petani/dan lainnya di daerah masing-masing agar segera melakukan konsolidasi perlawanan terhadap kebijakan TAPERA yang tidak berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat.
Baca Juga
Sampai saat ini, beberapa organisasi yang tergabung dalam aliansi GEBRAK adalah sebagai berikut: Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI, Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Federasi Pelajar Indonesia (FIJAR), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Federasi Serikat Buruh Makanan & Minuman (FSBMM), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Federasi Pekerja Industri (FKI), Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Greenpeace Indonesia (GP), Trend Asia (TA), Aliansi Jurnalis Independent (AJI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), BEM FH UPN VJ, BEM STIH Jentera, Serikat Pekerja Kampus (SPK), Rumah Amartya, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Perempuan Mahardika, Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), Serikat Pekerja Medis dan Tenaga Kesehatan Indonesia (SPMTKI) dan Destructive Fishing Watch (DFW).