
Repelita New York - Presiden Kolombia Gustavo Petro menyampaikan pidato penuh kritik dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang ia sebut sebagai penampilan terakhirnya di forum tersebut.
Ia menyerukan reformasi menyeluruh terhadap PBB dan menuntut tindakan konkret untuk menghentikan kekerasan terhadap warga sipil di Gaza.
Petro menyebut bahwa ini adalah kali keempat dirinya berbicara di forum global itu sebagai kepala negara.
Ia menyoroti lemahnya pengaruh suara mayoritas di PBB yang menurutnya tidak mampu mencegah jatuhnya korban kemanusiaan.
Menurut Petro, PBB tengah menghadapi krisis eksistensial dan membutuhkan transformasi mendasar.
Ia mengkritik keras ketimpangan kekuasaan di dalam PBB, di mana negara-negara kecil dan lemah kerap diabaikan meski aktif dalam proses pemungutan suara.
Petro menyebut bahwa suara negara tanpa kekuatan besar tidak pernah benar-benar didengar.
Ia menyamakan kegagalan lembaga internasional dalam melindungi warga sipil dengan keterlibatan dalam genosida.
Petro menyatakan bahwa PBB telah menjadi bagian dari kejahatan kemanusiaan dan menyebut ruang sidang sebagai saksi bisu atas genosida yang terjadi.
Dalam pidatonya, Petro juga menyinggung tokoh politik dunia yang menurutnya mengabaikan nilai-nilai kehidupan demi kepentingan kekuasaan.
Ia menyebut Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai sosok yang tidak berbicara tentang demokrasi, krisis iklim, atau kehidupan, melainkan hanya mengancam dan membiarkan pembunuhan terjadi.
Petro menolak konsep supremasi ras dan klaim umat pilihan Tuhan sebagai dasar kekuasaan.
Ia menyebut bahwa tidak ada bangsa atau negara yang lebih unggul, termasuk Amerika Serikat dan Israel, dan menyalahkan fundamentalisme sayap kanan ekstrem atas pandangan tersebut.
Petro menegaskan bahwa PBB harus menjunjung prinsip kemanusiaan universal dan tidak mendukung kekerasan atas nama politik.
Ia menyatakan bahwa seluruh umat manusia adalah umat pilihan Tuhan dan menyerukan perubahan total dalam tubuh PBB.
Petro mendesak agar genosida di Gaza segera dihentikan dan para pelaku, termasuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu serta sekutunya di Barat, harus dihukum.
Ia menyampaikan bahwa pendekatan diplomatik tradisional tidak lagi memadai untuk menyelesaikan krisis Gaza.
Menurutnya, diplomasi harus diikuti oleh tindakan nyata, termasuk perluasan peran Majelis Umum PBB.
Petro menekankan bahwa keputusan yang dapat diveto di Dewan Keamanan tidak cukup untuk menghentikan genosida.
Ia mengusulkan agar keputusan penting diambil melalui pemungutan suara di Majelis Umum yang tidak bisa dibatalkan oleh hak veto.
Lebih lanjut, Petro menyerukan pembentukan resolusi perdamaian yang lebih tegas dan kekuatan bersama untuk melindungi warga Palestina.
Ia mengajak negara-negara di dunia dan rakyatnya untuk bersatu membentuk angkatan bersenjata demi membela kehidupan rakyat Palestina.
Petro menyatakan bahwa kemerdekaan Palestina adalah keharusan dan bagian dari perjuangan kemanusiaan global.
Ia memperingatkan bahwa jika dunia terus berdiam diri, bukan hanya wilayah yang akan hancur, tetapi nilai-nilai kemanusiaan juga akan lenyap.
Petro menyebut bahwa bukan hanya Gaza yang akan dibom, tetapi juga tempat-tempat lain seperti Kariba, dan kebebasan manusia akan terancam.
Ia menuding kebijakan besar dari Washington dan NATO sebagai penyebab runtuhnya prinsip demokrasi.
Petro menutup pidatonya dengan seruan untuk menyelamatkan Gaza dan melanjutkan agenda dekarbonisasi ekonomi global.
Ia menyatakan bahwa pilihan dunia saat ini adalah antara kemerdekaan atau kematian, dan bahwa kebebasan sejati hidup di dalam hati manusia.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

