Repelita Jakarta - Protes terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) yang awalnya terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kini meluas ke berbagai wilayah lain.
Masyarakat menilai beban pajak yang meningkat terlalu memberatkan, sementara pemerintah daerah menjelaskan bahwa penyesuaian dilakukan karena nilai jual objek pajak (NJOP) tidak pernah diperbarui dalam kurun waktu lama.
Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, unjuk rasa digelar oleh mahasiswa dan warga sejak 12 Agustus dan memuncak pada 14 Agustus 2025.
Mereka menolak kenaikan PBB-P2 yang disebut meningkat ratusan persen. Ketua PMII Bone, Zulkifli, menyatakan temuan warga yang membayar pajak meningkat 200% hingga 300%.
Fajar, seorang warga Bone, menyebut tagihan PBB-P2 yang sebelumnya Rp27.000 berpotensi melonjak hingga Rp100.000. Ia siap bergabung dalam aksi jika pemerintah daerah tidak meninjau ulang kebijakan tersebut.
Suriani, pemilik lahan seluas satu hektare, mengaku terkejut karena tagihan pajaknya meningkat dari Rp100.000 menjadi Rp300.000 tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia berharap pajak tidak dinaikkan setinggi itu karena selisihnya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kepala Dinas Kominfo Bone, Anwar, membantah kenaikan hingga 300% dan menegaskan penyesuaian hanya sebesar 65%. Menurutnya, kenaikan ini diperlukan untuk meningkatkan target pendapatan PBB dari Rp30 miliar pada 2024 menjadi Rp50 miliar di 2025.
Ia menambahkan bahwa zona nilai tanah di Bone tidak diperbarui selama 14 tahun, sehingga penyesuaian hanya berlaku di wilayah perkotaan dan jalan utama.
Di Kota Cirebon, Jawa Barat, Paguyuban Pelangi Cirebon mengaku sudah menentang kebijakan ini sejak 2024 melalui rapat dengan DPRD, aksi turun ke jalan, hingga pengajuan judicial review.
Kenaikan PBB-P2 disebut berkisar antara 150% hingga 1.000%, termasuk tagihan Darma Suryapratana yang meningkat dari Rp6,2 juta menjadi Rp65 juta sebelum mendapat potongan pembayaran.
Walikota Cirebon, Effendi Edo, menegaskan bahwa kenaikan tidak sampai 1.000% dan berjanji akan mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon, Harry Saputra Gani, menjelaskan bahwa lonjakan pajak terjadi karena NJOP tidak diperbarui selama 12 tahun dan rencana revisi tarif dasar pajak sedang disiapkan.
Di Jombang, Jawa Timur, Bupati Warsubi menyatakan kenaikan PBB-P2 yang berlaku pada 2024 merupakan kebijakan bupati sebelumnya.
Ia berjanji membentuk tim khusus untuk menampung keberatan warga, terutama bagi mereka yang tagihan pajaknya melonjak hingga 700%–1.200%.
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, membatalkan kenaikan NJOP setelah menerima surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri. Bupati Ngesti Nugraha memastikan kelebihan pembayaran akan dikembalikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sejumlah pakar menilai kenaikan PBB-P2 terjadi karena pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat sebesar Rp50,29 triliun pada 2025.
Herman Suparman dari KPPOD mengatakan pemangkasan ini membuat daerah kehilangan sumber pembiayaan infrastruktur, sehingga pemerintah daerah mencari pendapatan tambahan melalui kenaikan pajak. Ia menekankan pentingnya perbaikan sistem pemungutan pajak, pembaruan database wajib pajak, optimalisasi BUMD, pengelolaan aset daerah, dan upaya peningkatan investasi sebagai alternatif.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai fenomena ini menjadi indikasi tekanan ekonomi nasional. Ia menyebutkan adanya utang jatuh tempo sebesar Rp2.827 triliun pada 2025–2027, melemahnya daya beli masyarakat, gelombang PHK, dan kebijakan efisiensi anggaran yang tidak selalu tepat sasaran.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa kenaikan PBB-P2 bukan akibat pengurangan anggaran dari pusat, melainkan merupakan keputusan pemerintah daerah masing-masing yang berbeda-beda.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

