
Repelita Jakarta - Eks Wakapolri Komjen Purnawirawan Oegroseno angkat bicara soal proses hukum kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Ia menilai perkara yang menempatkan Tom di kursi terdakwa ini sarat kejanggalan sejak penyelidikan hingga persidangan.
Menurut Oegroseno, tidak ada barang bukti yang benar-benar menguatkan tudingan korupsi tersebut.
Ia menyebut kesaksian di persidangan pun hanya datang dari pegawai-pegawai yang menurutnya tidak cukup untuk menjerat Tom.
“Kasusnya nggak jelas, nggak ada barang bukti, alat buktinya sama keterangan saksi juga cuma dari staf-staf,” kata Oegroseno, Jumat 18 Juli 2025.
Tom Lembong sebelumnya dituntut tujuh tahun penjara karena diduga menguntungkan perusahaan swasta lewat izin impor gula.
Namun, jaksa sendiri tak menemukan bukti Tom ikut memperkaya diri.
Oegroseno menilai vonis bebas murni layak dijatuhkan jika majelis hakim menimbang fakta yang terungkap di persidangan.
Ia percaya, jika hakim benar-benar memegang nilai Pancasila, putusan bebas mutlak harus diberikan.
“Kalau hakimnya masih berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusiaan, dan masih Pancasila lah, oonslag saja nggak bisa, harus vrijspraak,” tegasnya.
Ia juga mengaku heran karena setiap saksi yang dihadirkan justru sering meralat jawaban saat dicecar jaksa.
Menurut Oegroseno, itu bukti lemahnya dakwaan yang dibangun.
Tom sendiri akan mendengar putusan hari ini di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Empat bulan sidang berjalan, jaksa tetap meyakini Tom bersalah karena menunjuk sembilan perusahaan swasta menangani impor gula.
Selain itu, jaksa juga menilai Tom salah karena menggandeng koperasi, bukan perusahaan BUMN.
Kuasa hukum Tom membantah tuduhan tersebut.
Mereka menegaskan kebijakan impor gula Tom justru untuk mengamankan stok gula nasional.
Pengacara juga menyebut audit BPKP yang dipakai jaksa keliru.
“Jadi, ya itu yang cukup syok buat saya, betapa kacau balau ya baik audit BPKP itu sendiri maupun keterangan ahli BPKP kemarin,” kata Tom, 24 Juni 2025 lalu.
Dalam berkas, Tom disebut menerbitkan 21 izin impor gula pada 2015-2016.
Kebijakan itu dinilai menimbulkan kerugian negara Rp578 miliar.
Jaksa menuntut Tom tujuh tahun penjara ditambah denda Rp750 juta atau kurungan enam bulan jika tak dibayar.
Menjelang putusan, konsultan pajak dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perpajakan mengirim amicus curiae ke Pengadilan Tipikor.
Surat amicus curiae diterima panitera sehari sebelum vonis.
Isinya menyoroti perhitungan audit BPKP yang dianggap tidak sesuai fakta di persidangan.
Suhandi Cahaya, Ketua lembaga tersebut, menilai harga beli gula oleh BUMN justru lebih tinggi dari harga pokok penjualan.
Ia menekankan selisih harga yang diklaim BPKP sebagai kerugian negara tak punya dasar hukum yang kuat.
Suhandi juga menyoroti BPKP memasukkan bea masuk impor yang menurutnya keliru.
Menurutnya, BPKP membuat wajib pajak resah karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, ia menilai BPKP salah hitung dengan mempersoalkan bea masuk impor gula kristal putih padahal yang diimpor gula kristal mentah.
Ia menyebut perhitungan bea masuk versi BPKP sebagai ilusi yang menyalahi aturan perpajakan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

