Repelita Jakarta - Politikus senior PDI Perjuangan Beathor Suryadi kembali melontarkan pernyataan yang mengguncang arena politik nasional.
Ia menyebut bahwa Andi Widjajanto, mantan Gubernur Lemhannas dan tokoh PDIP, pernah melihat langsung ijazah Presiden Joko Widodo yang diduga hasil cetakan ulang.
Beathor mengungkapkan bahwa momen itu terjadi menjelang Pilpres 2014 saat berbagai dokumen penting sedang diverifikasi oleh tim internal.
Menurut Beathor, dokumen yang diperlihatkan kepada Andi merupakan cetakan ulang yang dibuat pada tahun 2012.
Cetakan tersebut, kata Beathor, dipersiapkan saat Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Beathor menegaskan bahwa proses pencetakan ulang berlangsung di kawasan Pasar Pramuka, Jakarta Pusat.
Ia menyebut beberapa nama yang diduga terlibat dalam proses tersebut, di antaranya David, Anggit, dan Widodo.
Selain itu, Beathor juga mengaitkan nama-nama dari PDIP DKI seperti Dani Iskandar, Indra, dan Yulianto sebagai bagian dari tim yang membantu.
Dokumen itu disebut dirancang dan dicetak dalam situasi mendesak karena Jokowi harus melengkapi berkas pencalonan.
Beathor mengklaim bahwa proses pembuatan dilakukan secara diam-diam di sebuah lokasi di dalam area Pasar Pramuka.
Ia juga menyinggung bahwa rumah di Jalan Cikini No. 69, Menteng, sempat menjadi pusat kegiatan administrasi tim relawan tersebut.
Beathor mengaku memperoleh informasi ini dari penelusurannya langsung ke Solo dan Yogyakarta, termasuk mendatangi Universitas Gadjah Mada.
Namun, ia tidak menemukan klarifikasi memuaskan dari kampus maupun pihak Istana terkait keaslian dokumen.
Beathor menyoroti keanehan karena semua dokumen ijazah memiliki foto yang seragam, seolah-olah dicetak secara massal.
Menurutnya, hal tersebut membuat Andi Widjajanto sempat terdiam saat pertama kali melihatnya.
Beathor meminta agar Andi tidak diam dan segera memberikan keterangan kepada publik.
Ia menilai bahwa kesaksian Andi dapat membantu membuka tabir mengenai keabsahan ijazah yang dipersoalkan.
Beathor menyebut bahwa jika benar ada pencetakan ulang, maka hal ini merupakan preseden serius bagi integritas dokumen negara.
Ia juga menegaskan bahwa reputasi Universitas Gadjah Mada akan ikut terpengaruh jika masalah ini tidak ditangani secara terbuka.
Menurut Beathor, kasus ini perlu segera diselidiki secara resmi oleh aparat penegak hukum.
Ia menekankan pentingnya Bareskrim Polri untuk segera turun tangan agar tidak menjadi bola liar berkepanjangan.
Beathor mengakhiri pernyataannya dengan menyebut bahwa kejujuran sejarah jauh lebih penting daripada kenyamanan politik saat ini. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok