Repelita Jakarta - Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional harus melalui kajian mendalam yang melibatkan para ahli sejarah.
Penetapan gelar tersebut tidak bisa dilakukan sembarangan karena memiliki makna khusus bagi penerimanya.
Wildan Hakim, pengamat politik dari Motion Cipta Matrix, menilai prinsip kehati-hatian sangat penting dalam menentukan kelayakan seseorang mendapatkan gelar pahlawan.
Menurutnya, aturan yang jelas perlu diterapkan agar tidak sembarang tokoh diberi gelar pahlawan.
Isu pemberian gelar pahlawan kepada Presiden kedua Indonesia, Soeharto, memunculkan polemik yang memperkuat kebutuhan akan aturan ketat tersebut.
Wildan mengingatkan kemungkinan gelar pahlawan menjadi barang politis jika diberikan tanpa pertimbangan matang.
Hal ini berpotensi membuka peluang bagi presiden setelah Soeharto untuk ikut menerima gelar serupa demi memperkuat citra publik.
Ia juga menyoroti keterlibatan politisi dalam proses penganugerahan yang dapat menyebabkan pemberian gelar ini menjadi alat politik.
Wildan menyebut politisi muda cenderung permisif dan lebih mudah memberikan gelar pahlawan kepada tokoh populer yang dianggap berjasa.
Pendukung berbagai tokoh politik, seperti Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo, bisa saja mengusulkan gelar pahlawan untuk tokoh yang mereka dukung.
Situasi ini membuat gelar pahlawan kehilangan kesakralan dan beralih menjadi komoditas politik untuk mengukuhkan nama besar seseorang.
Wildan menambahkan bahwa tokoh seperti Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid, yang memiliki banyak penggemar tapi tidak tergabung dalam jaringan politik, kemungkinan tidak diusulkan sebagai pahlawan meski kontribusinya besar.
Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi konkret belum tentu cukup jika tidak diiringi dukungan politik.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok