Pemerintahan Prabowo-Gibran seharusnya melanjutkan penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di era Jokowi-Ma'ruf.
Pandangan itu disampaikan para pelaku dan aktivis Trisakti 98 yang tergabung dalam Persatuan dan Persaudaraan Trisakti 98 (Paperti 98).
Mereka menyoroti pernyataan Menko Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang menyebut bahwa Tragedi 1998 bukan Pelanggaran HAM berat.
Ketua Paperti 98 Achmad Kurniawan menilai, pemerintahan yang baru ini seharusnya melanjutkan komitmen Jokowi yang pernah mengeluarkan Keppres Nomor 4 tahun 2022 dan Inpres Nomor 2 tahun 2023 mengenai PPHAM Non Yudisial Pelanggaran HAM berat dalam rangka Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudicial Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
"Seharusnya pemerintahan baru ini tinggal menyelesaikan dan menyempurnakannya saja," kata Achmad Kurniawan dalam keterangan resmi pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Pada kesempatan yang sama, pengurus paperti 98 yang lain Tommy Rahaditia, menyatakan Pernyataan Yusril Ihza Mahendra ini sangat rentan dalam membuka luka lama para korban Tragedi 98.
Alih-alih membuat terang kasus, Tommy menduga adanya agenda tersembunyi dari pernyataan Yusril Ihza Mahendra tersebut.
"Ada udang dibalik batu dari pernyataan Yusril tersebut," kata Tommy.
Paperti 98 pun menyarankan pemerintahan baru Prabowo-Gibran fokus dalam kesejahteraan rakyat dan rekonsiliasi atas semua kejadian kelam di masa lalu, sehingga rakyat menjadi optimis menatap masa depannya.
Usai dilantik jadi Menko, Yusril menjelaskan bahwa peristiwa 98 bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
"Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat," kata Yusril.
Namun, Yusril Ihza Mahendra segera mengklarifikasi pernyataannya terkait tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
Yusril pun mengaku tak tahu jelas maksud yang ditanyakan wartawan saat itu.
"Ya semuanya nanti kita lihat apa yang direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada Pemerintah. Karena kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya," jelasnya seperti dikutip dari rmol
Sebelumnya, Yusril mengatakan setiap kejahatan adalah pelanggaran HAM, tetapi tidak semua kejahatan adalah pelanggaran HAM berat.
"Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, massive killing, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya pada waktu awal perang kemerdekaan tahun 1960-an. Tapi dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat," kata Yusril.
"98 enggak termasuk?" tanya wartawan.
"Enggak," jawab Yusril.
Pada Januari 2023, Presiden Jokowi mengakui memang benar telah terjadi pelanggaran HAM berat di beberapa peristiwa di masa lalu. Hal itu disampaikan Jokowi usai menerima kunjungan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka.
Dalam pertemuan itu, Tim Nonyudisial PPHAM menyampaikan laporan mereka terkait penyelesaian HAM berat masa lalu.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Tim PPHAM pada 11 Januari 2023.
Jokowi kemudian menjabarkan ada 12 peristiwa masuk dalam pelanggaran HAM berat. Berikut daftarnya:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989
- Peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999.
- Peristiwa Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) di Aceh 1999
- Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena di Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003