Viral perdebatan yang melibatkan Rocky Gerung dan relawan Jokowi, Silfester Matutina.
Pada sebuah acara di TV swasta Rocky Gerung mencoba menjelaskan alasannya mengatakan Jokowi telah melanggar berbagai pasal.
Silfester Matutina meminta Rocky untuk tidak bertele-tele, sebab dia ingin dosen dan pemikir itu langsung ke buktinya.
Dia bahkan beberapa kali menyela Rocky Gerung yang ingin berusaha menjelaskan.
"Kita kalau di pengadilan bro, tak ada ngomong panjang-panjang begini. Langsung mana buktinya, hakim akan minta itu," kata relawan Jokowi tersebut.
Tak lama setelahnya, Silfester Matutina berdiri dari kursinya, menunjuk Rocky Gerung dan mengatakan jika Rocky adalah manusia pecundang yang tidak berguna bagi bangsa dan negara.
Tapi benarkah Rocky Gerung tak berguna seperti yang disampaikan Silfester Matutina?
1. Rocky Gerung ada di balik medali emas Indonesia cabor panjat tebing saat Olimpiade Paris
Nama Rocky Gerung menjadi bahan perbincangan saat atlet panjat tebing Indonesia, Veddriq Leonardo meraih medali emas di Olimpiade Paris 2024.
Rocky Gerung tergabung menjadi salah satu Pengurus Pusat Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI).
Dalam stuktur kepengurusan FPTI periode 2023-2027, Rocky Gerung didapuk menjadi Wakil Ketua Bidang Panjat Tebing Alam dan Rekreasi.
Dalam laman resmi FPTI disebutkan bahwa Rocky Gerung saat ini aktif untuk mengkampanyekan cabor olahraga panjat tebing ke seantero Indonesia.
Pada Olimpiade Paris 2024, Rocky bersama dengan Ketua Umum FPTI turut mendampingi para atlet untuk berlaga memperbutkan medali.
2. Dosen UI
Selain itu, Rocky Gerung juga tercatat pernah mengajar di UI meski tak memiliki gelar profesor.
Ia mengajar di salah satu perguruan tinggi ternama itu selama 15 tahun.
Aktris Dian Sastro menjadi salah satu mahasiswa bimbingan skripsi Rocky Gerung. Dian pernah curhat jika Rocky Gerung merupakan tipe pembimbing skripsi yang perfeksionis.
Rocky menjadi dosen tetap hingga awal 2015. Tetapi, dia harus berhenti mengajar karena adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015.
Dalam Undang-Undang tersebut, syarat untuk menjadi seorang dosen minimal harus menyelesaikan pendidikan S2 atau mempunyai gelar magister. Sedangkan, saat itu Rocky hanya bergelar sarjana.
3. Pemikir Indonesia
Kemudian yang tak kalah menarik, Rocky Gerung juga dikenal sebagai sosok pemikir di Indonesia.
Dia sering diundang di kampus-kampus untuk memberikan pandangan lain tentang kondisi yang ada saat ini.
Pemikirannya dianggap sebagai salah satu hal berguna untuk kemajuan bangsa karena mengasah pola pikir generasi muda untuk terus berpikir kritis.
4. Pendiri Serata Institute
Mesk sempat tak menyelesaikan kuliah, namun di dunia pendidikan, peran Rocky Gerung nyata.
Ia merupakan salah satu pendiri dari Setara Institute dan fellow pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) 2005.
Melansir dari laman resmi Setara Institute, organisasi ini didirikan guna mendedikasikan ide bahwa setiap orang harus diperlakukan sama sementara menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan menjunjung tinggi martabat manusia.
5. Koleksi buku Rocky Gerung
Said Didu pada 2020 pernah mengunggah kondisi rumah Rocky yang dipenuhi dengan buku di setiap sudutnya.
Ia pun mencuitkan bahwa untuk bisa berdebat dengan Rocky harus memiliki isi otak.
"Kalau mau berdebat dengan Rocky Gerung, jangan lupa bawa dan isi otak karena hampir semua sudut rumah beliau isinya adalah buku-termasuk di tangga dan kamar kecil," tulis Said Didu.
Bahkan dalam video yang diunggah oleh Said Didu, hampir tak ada buku ringan yang disimpan Rocky.
Beberapa genre buku yang dibaca Rocky yakni ekonomi, agama, filsafat, politik, hingga Feminisme.
"Semua ilmu dilahap sama dia. Teman-teman yang ingin berdebat dengan dia, berpikir keraslah. Ternyata buku yang kita sering dengar kalau diwawancara memang dibaca oleh dia," ucap Said Didu dalam videonya seperti dikutip dari bisnis
Kehidupan dan karier
Rocky mulai berkuliah di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1979. Ia pertama kali masuk ke Jurusan Ilmu Hubungan Internasional,[7] yang saat itu tergabung dalam Fakultas Ilmu-ilmu Sosial. Namun, Rocky tidak menyelesaikan kuliahnya di jurusan tersebut. Alih-alih Rocky lulus sebagai Sarjana Sastra dari Jurusan Ilmu Filsafat. Selama berkuliah, Rocky dekat dengan para aktivis berhaluan sosialisme seperti Marsillam Simanjuntak dan Hariman Siregar.[8]
Setelah lulus, Rocky kembali ke UI dan mengajar di Departemen Ilmu Filsafat, yang kini tergabung di dalam Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, sebagai dosen tidak tetap hingga awal 2015. Ia berhenti mengajar disebabkan keluarnya UU No. 14 tahun 2005 yang mensyaratkan seorang dosen harus minimal bergelar magister; sedangkan Rocky hanya menyandang gelar sarjana. Ia tercatat mengampu mata-mata kuliah seperti Seminar Teori Keadilan, Filsafat Politik, dan Metode Penelitian Filsafat; ia juga pernah mengajar pada program pascasarjana. Salah satu mahasiswa yang dibimbingnya adalah aktris Dian Sastrowardoyo.[9][10]
Bersama tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Azyumardi Azra, Rocky ikut mendirikan Setara Institute, sebuah wadah pemikir di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, pada 2005.[11]
Dalam bidang politik, Rocky bersama Sjahrir dan istrinya, Nurmala Kartini Sjahrir pernah mendirikan Partai Indonesia Baru (PIB) pada 2002. Meski ikut mendirikan, ia tak aktif di kepengurusan partai. Belakangan, Rocky memutuskan keluar dan bergabung dengan Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) pada 2011.[12] Ia didapuk sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai SRI.[13][14] Partai tersebut bermaksud mencalonkan Sri Mulyani untuk pemilihan umum Presiden Indonesia 2014. Namun, SRI gagal melewati proses verifikasi administrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga tidak dapat mengikuti pemilihan umum legislatif Indonesia 2014.[15]
Rocky juga pernah mengetuai Sekolah Ilmu Sosial (SIS), sebuah sekolah nonformal yang mendidik siswanya untuk memahami realitas sosial secara interdisipliner, di bawah Yayasan Padi dan Kapas yang juga diketuai oleh Sjahrir. Pengajar di SIS ada sepuluh orang, beberapa di antaranya adalah Arief Budiman, Salim Said, dan Rahman Tolleng.[16]***
Rocky juga pernah mengetuai Sekolah Ilmu Sosial (SIS), sebuah sekolah nonformal yang mendidik siswanya untuk memahami realitas sosial secara interdisipliner, di bawah Yayasan Padi dan Kapas yang juga diketuai oleh Sjahrir. Pengajar di SIS ada sepuluh orang, beberapa di antaranya adalah Arief