Langkah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mencabut nama Presiden RI kedua Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dinilai tidak berdasar. Pencabutan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 itu dinilai sebagai upaya untuk memuluskan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
MPR beralasan, pencabutan nama Soeharto dalam TAP MPR 11/1998 dianggap selesai, mengingat yang bersangkutan telah meninggal dunia.
"Pencabutan ini merupakan langkah yang keliru karena tidak mempertimbangkan aspek historis lantaran berpotensi memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya yang dipenuhi dengan dosa kejahatan HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya dalam keterangannya, Minggu (29/9).
Dimas menekankan, penghapusan nama Soeharto itu seolah-olah MPR memberikan amnesti moral bagi tindakan yang telah merugikan masyarakat luas. Selain itu, tindakan tersebut juga merupakan kemunduran bagi reformasi, yang seharusnya menyerukan pengadilan bagi Soeharto dan para kroninya serta menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Dengan demikian, ini tidak hanya akan mengaburkan tanggung jawab, tetapi juga mengancam upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan," tegas Dimas.
Ia menyadari, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR tersebut juga diiringi dengan wacana untuk memberikan gelar pahlawan nasional, yang sempat beberapa kali digulirkan seperti pada 2010 ketika namanya diajukan sebagai calon penerima gelar pahlawan oleh Kementerian Sosial, serta janji Prabowo Subianto pada 2014 untuk memberikan gelar tersebut.
Wacana ini kembali mengemuka setelah pencabutan namanya dari TAP MPR No. 11/1998. Hal ini tentu semakin mengafirmasi bahwa pencabutan tersebut memang disinyalir untuk memuluskan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua itu.
"Sebab, Tap MPR No 11/1998 merupakan salah satu batu sandungan terhadap Soeharto agar memperoleh gelar kepahlawanan," ujar Dimas.
Menurutnya, gelar pahlawan merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan serta simbol pengakuan terhadap warga negara yang berjasa dan mendarmabaktikan hidupnya, serta memberikan karya terbaiknya terhadap bangsa dan negara. Ia menekankan, gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada individu yang berkontribusi besar bagi bangsa tanpa melakukan tindakan tercela, sementara pada era kepemimpinan Soeharto, negara bertransformasi menjadi mesin pembunuh.
Hal itu sebagaimana ditandai dengan pelbagai pola kekerasan, seperti pembasmian, kekerasan dalam perampasan sumber daya alam, penyeragaman dan pengendalian, dikelolanya kekerasan antarwarga, kekerasan terhadap perempuan, kebuntuan hukum, pers dibatasi bahkan pers yang kritis dibredel, partai-partai politik dibatasi.
"Bahkan dalam catatan KontraS, Soeharto bertanggungjawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan HAM berat, serta tindak pidana korupsi yang diperkuat dari adanya putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/205 yang juga telah menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar USD 315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sebesar Rp 4,4 triliun berdasarkan kurs saat itu," cetus Dimas.
Ia menyatakan, upaya untuk membawa penguasa Orde Baru ke meja hijau selalu gagal. Meski pada Maret 2000, Kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka korupsi melalui tujuh yayasan dan melimpahkan berkasnya ke pengadilan pada Agustus, Presiden RI enam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2006 mengumumkan bahwa pemerintah tidak akan melanjutkan kasus Soeharto di muka pengadilan. Proses hukum tersebut terhenti karena alasan kesehatan.
Sehingga, Kejaksaan pun menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto pada 11 Mei 2006, karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen Soeharto, sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan.
Meski demikian, Dimas menegaskan bahwa ini tidak menghapus fakta adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun, sebagaimana tercantum dalam TAP MPR XI/1998 yang mendorong pengadilan terhadap Soeharto dan para kroninya.
Ia curiga, momentum diputihkannya nama nama Soeharto, berhubungan dengan Prabowo Subianto, memiliki afiliasi kuat dengan keluarga Cendana. Ia curiga, penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 didasari oleh konflik kepentingan yang dimiliki oleh Prabowo untuk memperbaiki citra dirinya dan andil keluarga Cendana, atas sejarah kelam Orde Baru sebelum Prabowo dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober mendatang.
Oleh karena itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya akan merugikan keadilan bagi korban, tetapi juga dapat menciptakan preseden buruk bagi penanganan pelanggaran HAM di masa depan.
"Keputusan ini menunjukkan bahwa tanpa adanya pengakuan dan pertanggungjawaban, sejarah kelam dapat terulang kembali, merugikan generasi mendatang yang berhak atas keadilan dan kebenaran," pungkasnya.