Sejumlah elemen masyarakat menggelar demonstrasi di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2024. Demo ini bertujuan untuk menolak revisi rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang akan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat pemilihan kepala daerah.
Seperti diketahui, Badan Legislasi atau Baleg DPR berencana untuk mengesahkan RUU Pilkada dalam rapat paripurna yang digelar hari ini. Namun, sidang harus ditunda karena jumlah anggota DPR yang hadir tidak kuorum.
“Hanya 89 hadir, izin 87 orang, oleh karena itu kita akan menjadwalkan kembali rapat Bamus untuk rapat paripura karena kuorum tidak terpenuhi,” kata Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco di Gedung Parlemen DPR RI, 22 Agustus 2024.
Sebelumnya, MK pada Selasa, 20 Agustus 2024 telah memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Putusan itu termuat dalam putusan MK 60/PUU-XXII/2024.
Namun sehari pasca putusan tersebut, Baleg DPR menggelar rapat untuk membahas RUU Pilkada yang digelar pada Rabu, 21 Agustus 2024. Rapat itu menyatakan bahwa tetap menggunakan ambang batas 20 persen kursi di parlemen bagi partai politik yang hendak mengusung calonnya di pemilihan kepala daerah.
Selain itu, Baleg DPR juga menolak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon. Adapun keputusan Baleg DPR adalah batas usia calon berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Keputusan DPR tersebut langsung menimbulkan protes dari masyarakat. Berbagai elemen masyarakat memprotes sikap DPR yang dinilai melakukan pembangkangan hukum putusan MK.
Lantas, berapa jumlah gaji dan tunjangan pimpinan dan anggota DPR?
Gaji Pimpinan dan Anggota DPR
Gaji anggota DPR RI diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Teringgi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Menurut aturan tersebut, ketua DPR menerima sebesar Rp 5.040.000 sebulan. Sedangkan wakil ketua DPR mendapatkan gaji Rp 4.620.000 sebulan. Sementara itu, gaji anggota DPR adalah sebesar Rp 4.200.000 setiap bulan.
Tunjangan Pimpinan dan Anggota DPR
Gaji anggota DPR juga diatur pula dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR RI. Adapun ketetapan gaji anggota DPR RI diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015 tentang kenaikan indeks sejumlah tunjangan bagi anggota DPR. Berikut rinciannya:
- Tunjangan melekat
- Tunjangan istri/suami Rp 420.000
- Tunjangan anak (maksimal 2 anak) Rp 168.000
- Uang sidang/paket Rp 2.000.000
- Tunjangan jabatan Rp 9.700.000
- Tunjangan beras (4 jiwa) Rp 198.000
- Tunjangan PPh Pasal 21 Rp 1.729.000
- Tunjangan lain
- Tunjangan kehormatan Rp 5.580.000
- Tunjangan komunikasi Rp 15.554.000
- Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran Rp 3.750.000
- Bantuan listrik dan telepon Rp 7.700.000
- Asisten anggota Rp 2.250.000
- Biaya perjalanan
- Uang harian daerah tingkat I (per hari) Rp 5.000.000
- Uang harian daerah tingkat II (per hari) Rp 4.000.000
- Uang representasi daerah tingkat I (per hari) Rp 4.000.000
- Uang representasi daerah tingkat II (per hari) Rp 3.000.000.
Dengan demikian, apabila dijumlahkan, tunjangan dan gaji anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp 50 juta dalam sebulan. Berbagai macam tunjangan dan biaya perjalanan ini pun bisa didapat lebih besar karena masih ada tunjangan rumah dinas dan lainnya seperti dikutip republika
Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna Sebut Pihaknya Sesalkan Baleg DPR Lakukan Pembangkangan Konstitusi
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna merespons hasil rapat Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat mengenai revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Undang-Undang Pilkada). Ia menyesalkan, Baleg DPR secara terang-terangan membangkang terhadap putusan MK.
"Kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg DPR. Tapi cara ini, buat saya pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan. Mahkamah Konstitusi yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh konstitusi (UUD 1945) ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata I Dewa Gede Palguna kepada wartawan, Rabu (21/8).
Pembangkangan terhadap konstitusi itu dapat dilihat dari hasil rapat Baleg DPR. Pasalnya, Baleg tiba-tiba secara mempercepat pembahasan revisi UU Pilkada, setelah hadirnya putusan MK mengenai uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala dearah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada mengenai bata usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya, ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi di DPRD
Lalu ambang batas itu diubah menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara sah. Selain itu, MK juga memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon.
Namun, Baleg DPR tidak mengindahkan putusan MK itu. Palguna menegaskan, masyarakat sejatinya tidak diam melihat sikap tersebut.
"Itu kan sudah berada di luar kewenangan MK. Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society, serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapean," pungkasnya.***