Oleh: Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI)
Putusan Ijtima’ Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai larangan (keharoman) salam lintas agama dan selamat untuk hari raya keagamaan lain, dinilai oleh Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) sebagai hal yang: mengancam eksistensi Pancasila, dan berpotensi merusak kemajemukan.
Ini sayangnya, jelas absurd dan justru - ironisnya - menunjukkan bahwa pernyataan BPIP itu sendirilah yang bertentangan dengan esensi Pancasila dan UUD 1945 serta Kebhinnekaan di NKRI.
Bahkan BPIP macam tak paham Pancasila-UUD 1945?
Kiranya, juga bernuansa Islamafobia, justru di negara yang berpenduduk mayoritas Muslimin, yakni: NKRI, ini?
Dan juga tidak demokratis, karena hampir 90% agama Warga Negara Indonesia adalah Islam, kaum Muslimin yang terbiasa dengan salam "Assalaamu'alaikum warohmatullohi, wabarokatuh"?
Do'a salam khas Muslimin itu sudah lengkap dan indah. Dan sudah biasa terdengar sejak ratusan tahun lalu di Nusantara ini.
Itu sungguh do'a-salam yang penuh kasih-sayang untuk pendengarnya, yang bermakna:
"Semoga engkau yang saya hormati selamat dalam kedamaian dan kesejehteraan. Dan semoga rahmat serta barokah Allah (Tuhan Yang Maha Esa) juga untukmu (yang saya hormati)."
Karenanya marilah juga kita ingat - untuk memperkuat pemahamannya - makna kata-kata itu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
Allah: n nama Tuhan dalam bahasa Arab; pencipta alam semesta yang mahasempurna; Tuhan Yang Maha Esa yang disembah Tuhan n 1 sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya:oleh orang yang beriman.
Tuhan: n 1 sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya.
Mahaesa (Maha Esa): adv yang hanya satu (Allah)
kafir: n orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya;
Jelas nama "Allah" itu dicantumkan di Pembukaan UUD 1945.
Juga jelas ditegaskan bahwa, "negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa", di pasal 29 ayat 1 UUD 1945.
Dan di pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Dipertegas dalam pasal 28E ayat 1 UUD 1945: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”.
Maka kaum Muslimin - yang mayoritas di NKRI ini - sungguh berhak beragama dan bersalam dengan caranya sendiri. Yang toh, makna salamnya indah sekali.
Oleh sebab itu - sayang sekali - tuduhan BPIP yang tendensius terhadap hasil Ijtima’ Komisi Fatwa MUI tersebut jelas justru bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila itu sendiri.
Juga jelas menyerang keyakinan beragama kaum Muslimiin, yang adalah mayoritas di NKRI.
Sungguh ratusan juta WNI Muslim ini sudah mengutus para ulama lintas unsurnya ke MUI. Mengamanahinya. Mempercayainya. Juga dalam hal fatwa-fatwanya.
Yang dalam hal ini, fatwa haromnya salam lintas agama, dan yang berhubungan dengannya.
Maka pernyataan BPIP macam itulah yang berpotensi merusak kemajemukan dan keragaman, serta toleransi beragama, dalam berbangsa dan bernegara NKRI.
Macam intoleran. Tidak bertoleransi.
Lihat makna kata "toleran" di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ini:
toleran/to·le·ran/ a bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Dua ratus juta jiwa lebih umat Islam justru telah menuangkan aspirasinya, melalui dicetuskannya Pancasila dan UUD 1945 di 18 Juni 1945 Dan ke MUI.
Dalam NKRI, melalui Mosi Integral NKRI, 3 April 1950, oleh M. Natsir, dan diresmikan di 17 Agustus 1950.
Karena inilah juga makna keindahan keragaman dan kemajemukan bangsa Indonesia, yang dituangkan dalam slogan yang menjadi konsensus bersama yakni "Bhinneka Tunggal Ika", yang artinya, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Atau macam semboyan "Unity in Diversity" dalam Bahasa Inggris.
Ingatlah juga, sogan ini pertamakali diusulkan oleh Mohammad Yamin - seorang Muslim - pada sidang BPUPKI.
Maka juga dapat disimpulkan bahwa pernyataan BPIP yang menyerang Keputusan Ijtima’ Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) VIII di Bangka Belitung bulan Mei 2024 lalu: tidak pantas.
Penjabaran sila I Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, justru menuntut kita agar menghargai dan menghormati kepercayaan dan keyakinan setiap Agama dalam melaksanakan ajarannya.
Ini juga salah satu ajaran Islam, misalnya di QS Al Kafiruun ayat terakhir, "Untukmu agamamu, untukku agamaku."
Ini wujud sikap toleransi terhadap perbedaan keyakinan yang membuat kita dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Dan sekedar mengingatkan, hal menyerang agama ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh BPIP.
Publik masih ingat, beberapa tahun yang lalu Kepala BPIP yakni DR. Yudian Wahyudi, MA, Ph.D., pernah menyatakan bahwa musuh utama Pancasila adalah Agama.
Padahal pasal 29 ayat 1 UUD 1945 justru menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang ini jelas hal Agama.
Juga di Pembukaan UUD 1945, ada penegasan kalimat "Atas berkat rahmat Allah ... " kemerdekaan ini dicapai.
Apakah pasal 29 ayat 1 UUD 1945, dan Pembukaan UUD 1945 itu, bertentangan dengan Islam?
Tentu saja tidak.
Dan jelas kaum Muslimin selama ini sudah menyerahkan nyawa, harta, waktu, tenaga dan sebagainya, untuk wilayah ini.
Maka biarkanlah umat Islam dengan cara beragamanya sendiri. Janganlah mengganggu-ganggu kaum mayoritas di NKRI.
Akhirul kalam, dengan pernyataan tidak demokratis, intoleran, menyerang agama, dan tidak berdasar keilmuan kuat, yang justru dapat menimbulkan keresahan dan terganggunya kerukunan beragama ini:
Masihkah BPIP dianggap layak diberi tanggung jawab untuk menjaga Pancasila secara murni dan kosekuen?
Malahan BPIP baru saja meminta uang seratusan milyar rupiah ke DPR RI untuk menyebarkan ideologi Pancasila versinya itu, melalui Tik Tok.
Pantaskah?
Dipublikasikan atas nama Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI), tertanda:
Abdullah Al Katiri (koordinator presidium nasional GNAI).